Pagi-pagi sekali Arlin sudah duduk manis di teras depan rumah Arles sembari sarapan roti isi selai nanas. Saat ia meneguk susu coklat dari botol minumnya, pintu di belakangnya terbuka. Arlin segera menoleh ke belakang masih dengan mulut menempel di bibir botol.
“Selamat pagi, Ales,” sapanya, mengelap bibir menggunakan punggung tangan.
Melihat kehadiran Arlin di pagi-pagi begini membuat kening Arles mengernyit bingung. Ia berjalan mendekat ke Arlin yang sedang mengemasi kotak makan dan botolnya, lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Ngapain?” tanyanya dingin.
“Sarapan tadi.”
“Maksud gue, ngapain di rumah gue?”
“Mau nebeng.”
Mata Arles melotot. “Siapa yang nyuruh?” tanyanya galak.
“Nggak ada. Pingin aja nebeng kamu.”
“Gue nggak mau.”
“Dimau-in aja.”
“Lo tuh—“ Arles menggeram tertahan. Enggan peduli, Arles berjalan menuju motornya yang terparkir di halaman rumah. Saat hendak memutar motornya, tiba-tiba tangan Arlin menahan besi pada jok belakang. “Apaan, sih?”
“Aku nebeng, Les.” Arlin merengek.
“Biasanya juga bisa berangkat sendiri, kan?”
“Tapi, kan, sekarang udah ada kamu.”
“Ya terus, gue peduli?” mata Arles menatap sengit. “Enggak!” lanjutnya, lalu berlalu bersama motornya meninggalkan Arlin yang menggaruk kening bingung.
Mendesah berat, Arlin melangkah menuju gerbang rumahnya. Di sana sudah ada Pak Prih, supir pribadinya, yang stand by di dalam mobil. Arlin sudah menduga reaksi Arles, makanya ia meminta Pak Prih bersiap-siap.
~
Bel istirahat barusaja berbunyi. Sebelum guru pelajaran agama keluar, Arlin sudah lebih dulu melesat. Tak lupa ia mengucapkan salam pada Pak Udin yang membalasnya dengan lamat-lamat. Beberapa murid kelas 12 IPA 1 melongo heran melihat kelakuan Arlin. Tetapi, Arlin tak peduli. Sekarang ia sudah berdiri tegak di depan kelas 12 IPA 2.