Setelah salat maghrib dan mengaji, Arlin mengendap-ngendap keluar dari rumah. Ia berjalan berjinjit hingga sampai di gerbang rumah. Ia menengok ke belakang, memastikan apakah ibunya melihat aksinya. Setelah tak melihat siapa pun di sana, Arlin segera berlari menyongsong gerbang rumah sebelah.
“Assalamu’alaikum,” katanya dengan suara keras. Tak perlu menunggu lama, pintu di depannya terbuka. Tante Aisyah menyambutnya dengan senyum hangat.
“Wa’alaikumsalam. Kok malam-malam kesini, Lin? Emang nggak belajar?” tanya Aisyah, menggandeng tangan Arlin masuk ke dalam rumahnya.
“Makanya itu, Tan, aku kesini sembunyi-sembunyi biar nggak ketahuan sama ibu. Habisnya, capek aku tuh disuruh belajar terus,” curhat Arlin.
“Kamu ya...” Aisyah terkekeh. “Duduk dulu biar Tante buatin minuman.”
“Susu coklat ya, Tan,” pesan Arlin, nyengir.
Lagi-lagi Aisyah terkekeh. Ia lebih suka remaja seperti Arlin yang tak sungkan meminta apa yang ia mau. Daripada remaja yang malu-malu, malah membuat Aisyah bingung harus menyuguhkan apa.
“Oh ya, Tan, Ales kemana?” tanya Arlin karena tak melihat batang hidung cowok ganteng itu.
“Katanya tadi pergi sebentar nyari nasi liwet,” jawab Aisyah dari dapur. Arlin mengangguk-ngangguk.
Selagi tante Aisyah sedang sibuk di dapur, Arlin melihat-lihat foto-foto yang terpajang di dinding rumah. Di sana ada banyak foto Arles mulai dari masih bayi hingga sekarang ini. Tak hentinya bibir Arlin mengembangkan senyuman melihat betapa imutnya Arles saat kecil. Sebenarnya sekarang masih imut. Hanya saja tertutupi dengan ekspresi juteknya itu.
“Ih, ompooong!” pekik Arlin saat mendapati foto yang mungkin diambil ketika Arles masih TK. Di sana terlihat Arles mengenakan setelan warna biru dongker, lengkap dengan topi dan sedang tersenyum lebar, menampakkan giginya yang ompong.
Aisyah tersenyum kecil melihat Arlin tertawa geli di depan foto putranya. Setelah meletakkan segelas susu coklat hangat di meja, Aisyah menghampiri Arlin, lalu bersama-sama mengagumi seorang anak laki-laki yang ada di dalam frame tersebut.
“Itu waktu study tour TK ke Kebun Raya Bogor,” jelas Aisyah, diangguki oleh Arlin.
“Tante punya kopian foto yang Arles ompong ini nggak?” tanya Arlin tiba-tiba.
“Ada, sih. Mau buat apa emang?”
“Disimpan aja. Nanti siapa tahu Arlin lagi bete terus ngelihatin fotonya Arles, Arlin bisa happy lagi.”
“Kamu ini ada-ada aja.” Aisyah mengacak rambut Arlin, dibalas Arlin dengan cengiran. “Yaudah, Tante ambil dulu, ya, fotonya,” kata Aisyah sebelum berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Sambil menunggu tante Aisyah, Arlin meneguk susu coklat yang masih mengepulkan asap panas. Matanya tetap setia mengamati setiap foto yang dipajang di dinding. Menyadari akan sesuatu yang janggal, kening Arlin berkerut.
“Kok nggak ada foto ayahnya Ales, ya.” Arlin bergumam. “Ah, mungkin aja ayahnya malu kalau fotonya di pajang di ruang tamu,” lanjutnya. “Tapi, kenapa juga harus malu? Kalau anaknya aja ganteng begitu, pasti ayahnya juga ganteng, kan?” ocehnya pada diri sendiri.
Suara derap langkah dari belakang membuat Arlin berbalik badan. Ia melihat Tante Aisyah membawa selembar foto. Tak urung senyum pun terbit di bibir Arlin.
“Jangan sampai Arles tahu, ya. Bisa marah dia nanti,” kata Aisyah sambil menyerahkan selembar foto yang diminta oleh Arlin.
Baru saat Arlin akan menjawab, pintu depan menjeblak terbuka. Kedua mata Arlin melotot lebar mendapati Arles berdiri sambil menenteng plastik putih berukuran sedang. Buru-buru Arlin menyembunyikan foto tadi di belakang punggungnya.
“Ngapain lo di sini?” sentak Arles.
Arlin gelagapan. “Ma— in,” jawabnya kemudian.