'Satu jaringan yang saling terikat dan terkait satu sama lain. Bercabang membentuk satu kesatuan yang menggerakkan titik saraf. Berotasi dengan cepat, tanpa tahu ada satu sistem saraf yang cacat. Menyebabkan kesakitan yang tak berkesudahan.'
Setiap kata berbaris rapi membentuk banyak variasi istilah medis yang tak bisa dipahami banyak orang. Tapi, ada salah satu seorang perempuan terpekur dalam diam untuk memahami istilah susah itu.
Pikirannya harus terpecah kala seseorang tiba-tiba duduk di seberang mejanya. Dilihat wajah orang itu yang memerah.
"Bagaimana bangsa kita bisa maju kalau apa-apa saja harus membutuhkan uang?" celetuknya dengan bersungut-sungut sembari melempar tas sederhana yang di dalamnya terdapat banyak buku.
"Bukankah itu realistis? Semua membutuhkan uang," balas Aruna. Seorang mahasiswi kedokteran yang baru saja menginjak semester dua.
Perempuan itu duduk di salah satu bangku taman yang terdapat meja sebagai landasan buku medis yang sedari tadi dibaca.
"Sangat realistis sampai-sampai mengurus surat di kelurahan harus membutuhkan uang sebagai pemulus. Memang kampang para pengurus itu. Dan sialnya, mereka hanya bekerja tiga jam. Bayangkan! Dari jam 9 hingga jam 12! Itupun paling lama! Sudah berapa banyak gaji buta yang mereka makan? Belum lagi dengan uang sumbangan paksa untuk mengurus surat ini dan itu. Aku bersumpah bahwa isi perut mereka hanyalah belatung dan sampah."
Aruna senantiasa mendengarkan keluhan Siska—temannya yang bersua secara menggebu. Mengutuk segala perilaku para pegawai yang menyulitkannya hanya demi selembar kertas.
Siska adalah teman satu angkatan di jurusan kedokteran. Mereka berdua cukup dekat ketika tidak sengaja bertemu saat pertama kali mendaftar di kampus ini.
"Apakah kita perlu membuktikan isi perut mereka? Aku rasa kemampuan kita sangat cukup untuk merobek perut," timpal Aruna mencoba mengimbangi ucapan Siska.
"Jika undang-undang kebebasan itu ada, aku tidak akan segan-segan membuka isi perut mereka. Kita akan lihat bahwa suratku terselip dalam usus mereka."
"Memangnya surat apa?"
"Surat membuat KTP dan surat pengantar. Sudah berbulan-bulan aku mengurus surat itu tapi tidak ada hasilnya. Mereka selalu mengatakan tunggu, tunggu dan tunggu. Tapi nol. Tidak ada tindakan sampai sekarang. Gila bukan? Dan gilanya jika urusanku ingin cepat selesai, aku harus memberi mereka uang sebagai pemulus. Untuk makan saja susah, apalagi harus memberi mereka uang secara cuma-cuma. Bisa-bisa aku menjadi gelandangan, bukan dokter."
"Sejak kapan mengurus surat begitu susah? Kenapa aku tidak pernah merasakan seperti itu?" tanya Aruna bingung. Sebab selama ini tidak ada hambatan ketika mengurus surat.
"Aku lupa kalau kau adalah anak orang kaya. Pasti mudah untukmu mengatasi semuanya, termasuk mengurus surat. Meski aku tidak tahu apa pekerjaan orang tuamu, tapi aku yakin kau tidak akan serba kekurangan di negeri krisis ini seperti hidupku yang miris," keluh Siska yang meratapi nasibnya.
Berkeluh kesah betapa sulitnya untuk mengurus administrasi. Bukannya tidak bersyukur, hanya saja ingin meluapkan apa yang dirasakan saat ini.
Orang tuanya hanyalah seorang guru. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai guru biologi di salah satu SMA di Jakarta. Sedangkan ibunya seorang guru honorer di sekolah dasar.
Siska memiliki dua orang adik yang masih sekolah. Jadi, untuk masuk ke jurusan kedokteran merupakan suatu kebanggaan untuknya. Sekaligus kesusahan karena menekan biaya yang cukup mahal. Meminimalisir segala bentuk pengeluaran.
Bibir Aruna memberengut. Sudah terbiasa dengan nada sarkas dan ejekan Siska. Karena begitulah watak temannya. Sering mengatakan apa pun yang ada di dalam pikirannya secara frontal. Namun, sebab itulah mereka bisa dekat.
"Aku tidak sekaya itu. Mungkin hanya beruntung."
"Tidak ada sebuah keberuntungan di dalam hidup yang serba kekurangan."
"Kau seperti seorang penyair yang sering mengeluh dibanding mahasiswi kedokteran."
Helaan napas pendek menguar dari bibir Siska. Kepalanya terpangku pada meja yang kosong. Perkataan Aruna benar. Dirinya hanya seorang penyair pengeluh yang terperangkap pada jiwa seorang mahasiswi kedokteran.
Aruna yang melihat tingkah Siska, menggelengkan kepala. "Sudahlah. Sudah waktunya kita kembali ke dunia yang akan membuat bebanmu semakin berat. Jam masuk akan segera datang. Kau tidak ingin dimakan oleh Pak Broto bukan?"
Pak Broto yang dimaksud Aruna adalah Dosen mereka yang terkenal sering mencekik mahasiswa. Memang tidak ada bekas cekikan, tapi meninggalkan rasa sakit karena tugas dan materi yang diberikan terasa sulit.
Dengan terpaksa, Siska bangun dari tempatnya yang nyaman untuk berkeluh kesah. Menghadapi Pak Broto nyatanya lebih mencekam dibanding menghadapi bahan bakar minyak yang semakin tak ditemukan.
Kedua perempuan tersebut menapaki jalanan yang membawa mereka ke gedung bertingkat. Sebuah tempat yang terdapat banyak orang saling berlomba mencari bongkahan pengetahuan. Berharap bongkahan itu menjadi acuan di masa depan mereka kelak.