Di lorong bangunan yang dijadikan sebagai tempat mengenyam pendidikan tertinggi oleh sebagian manusia, Aruna menggerakkan kaki menelusuri lorong tersebut. Netranya sibuk memindai setiap tulisan yang tersemat di pintu.
Berbekal sebuah tulisan di sobekan kertas, Aruna mencoba menemukan ruangan yang ingin dituju. Pikiran yang fokus mencari, tak sengaja ia menabrak seseorang. Tubuhnya menunduk secara spontan.
"Maaf. Maafkan saya. Saya tidak sengaja."
"Tidak masalah. Saya baik-baik saja."
"Anda yakin? Sekali lagi, maafkan saya."
Korban yang menjadi tabrakan Aruna tersenyum melihat caranya meminta maaf. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di sini."
Aruna mendongak, tersentak saat perempuan di hadapannya tahu bahwa ia bukanlah mahasiswi yang menghabiskan waktu di bangunan khusus kegiatan mahasiswa.
"Saya baru pertama kali ke sini. Mungkin karena itulah Anda tidak pernah melihat saya sebelumnya di sini."
"Pantas saja. Apa yang dilakukan oleh seorang mahasiswi ...."
"Mahasiswi kedokteran. Saya dari jurusan fakultas kedokteran semester dua," sela Aruna melanjutkan ucapan lawan.
"Mahasiswi kedokteran? Cukup mengejutkan melihatmu ada di sini? Jadi, ada urusan apa kau datang ke sini?"
"Saya hanya ingin mencari ruangan aktivis dan pers."
Ada kerutan halus tercetak di wajah yang menjadi lawan bicara Aruna. "Untuk apa kau mencari ruangan itu?"
Aruna kikuk kala mendapati serangan pertanyaan seperti itu. Pikirannya bertarung, antara menjawab pertanyaan itu atau tidak.
"Sepertinya pertanyaanku membuatmu canggung. Maaf jika pertanyaan itu mengganggumu. Bagaimana bila kita berkenalan terlebih dahulu? Saya Mey, mahasiswi bahasa asing tingkat delapan," pungkasnya ketika menyadari sikap enggan Aruna seraya mengulurkan tangan.
"Saya Aruna. Mahasiswi kedokteran," balas Aruna menyambut uluran tangan tersebut.