Kamar itu tak pernah benar-benar sunyi, meski lampu tumbler redup yang melingkar di dinding memancarkan cahaya lembut yang berusaha menenangkan suasana. Keheningan yang mendalam terasa sedikit terpecah oleh denting jam dinding yang sesekali berbunyi, menandakan berlalunya waktu. Namun, di balik suasana yang tampak tenang, ada sesuatu yang berat menggantung di udara, seolah kamar ini adalah sebuah tempat pelarian bagi pemiliknya, sebuah ruang yang menampung segalanya, mulai dari kelelahan, kebingungan, hingga keputusan-keputusan yang belum tuntas.
Bungkus makanan ringan berserakan di lantai, sisa-sisa camilan yang tak sempat dibuang, serta botol minuman kosong yang tergeletak begitu saja di sudut-sudut ruangan. Keadaan ini sudah menjadi hal biasa bagi Mentari. Ia tak pernah terlalu mempedulikan kekacauan ini, bahkan ada kalanya ia merasa nyaman dalam ketidakteraturan yang ada. Di belakang pintu, pakaian-pakaian yang tergantung sembarangan seolah menunjukkan bahwa si pemilik kamar tak sempat atau bahkan tak peduli untuk merapikannya. Itulah yang ia rasakan, sebuah kebebasan yang datang dengan mengabaikan segala sesuatu di luar dirinya.
Mentari duduk di depan meja rias, di hadapannya cermin besar yang sedikit berdebu. Ia menatap dirinya sendiri dengan tatapan kosong yang sulit dibaca, seolah cermin itu hanya memantulkan bayangannya tanpa memberikan jawaban. Wajahnya yang cantik itu, dengan kulit berwarna kunir, tampak lebih dewasa dari usianya yang baru dua puluh dua tahun. Mungkin itu karena make-up tebal yang menghiasi pipi dan bibirnya malam ini. Ketika ia menatap lebih dalam, ia merasa seolah dirinya bukanlah perempuan yang ada di depan cermin itu. Seolah ada dua sisi dirinya yang satu terbungkus dalam make-up dan pakaian seksi, sementara yang lainnya tersembunyi di balik lapisan tebal itu, jauh di dalam dirinya.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Hari ini lebih berat dari biasanya, tetapi ia tahu ia harus keluar dan menghadapi apa yang ada di depan. Ia bangkit dari kursi dan meraih jaket denim usangnya yang tergantung di sandaran kursi. Jaket itu terasa lebih nyaman daripada pakaian yang lebih glamour. Mentari memakainya dengan terburu-buru, mencoba menyembunyikan pakaian seksi yang ia kenakan di bawahnya. Jaket denim itu seperti pelindung, memberikan rasa aman dari dunia luar yang sering kali menuntut lebih dari yang bisa ia beri.
Ia mematikan speaker bluetooth yang sejak tadi memutar lagu "Saturnus" dari Soegi Bornean. Lagu itu sudah sering ia dengar, tetapi malam ini terasa berbeda. Suaranya seperti membawa ia ke tempat yang jauh, ke tempat yang bebas dari tekanan dan harapan orang lain. Meskipun begitu, ia tahu ia tidak bisa berlama-lama di kamar itu. Waktunya untuk pergi sudah tiba.
Mentari menatap sejenak kamar yang berantakan itu, berusaha mengingat kapan terakhir kali ia merasa nyaman di sini. Namun, tak ada jawabannya. Ia hanya mengangguk pelan pada bayangannya di cermin, lalu melangkah keluar. Pintu kamar terkunci rapat di belakangnya. Ia tahu, tak ada yang bisa menghalangi langkahnya sekarang. Hanya ada dirinya dan jalan yang harus ia lalui malam ini.
Saat Mentari tiba di parkiran kost, suasana seketika berubah. Aroma lembab dari tembok-tembok tua yang mengelilinginya menyambutnya dengan dingin yang tak bisa dihindari. Udara malam yang hangat bercampur dengan bau keringat dan oli motor yang terparkir sembarangan. Beberapa motor hampir tak terlihat di bawah bayang-bayang gelap yang menyelimuti mereka. Lampu di parkiran itu berkedip-kedip dengan canggung, memberikan sedikit cahaya yang tak cukup untuk menerangi ruang sempit ini. Mentari melangkah pelan menuju motor putih matic-nya yang terparkir di sudut, tetapi langkahnya terhenti ketika suara berat seseorang menyapanya.
"Malem, Teh..." Suara Joko, penjaga kost yang sering muncul di waktu-waktu ganjil, terdengar mengganggu keheningan malam itu. Mentari menoleh sekilas, memberikan senyum tipis dan anggukan kecil sebagai balasan, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Mentari merasa tidak ada gunanya berbicara lebih banyak. Hanya sekedar basa-basi yang tidak akan mengubah apapun.
Ia segera mempercepat langkahnya, menyalakan motor, dan bergegas pergi dari parkiran yang terasa semakin sempit dan penuh tekanan. Keberadaannya di tempat itu seolah hanya mempertegas rasa kesepian yang mengikutinya, membuatnya semakin ingin menjauh. Dengan suara mesin motor yang menggema di malam yang hening, ia meninggalkan parkiran kost itu dan melaju menuju tempat yang lebih jauh, berharap bisa melupakan sejenak segala yang ada.
---
Ketika Mentari tiba di parkiran apartemen, suasana yang menyambutnya sangat berbeda. Parkiran itu terang, ramai, dan terasa dingin dalam cara yang tak kasat mata. Para wanita yang berpakaian minim berkeliling, seolah mereka tak peduli dengan waktu atau suhu yang semakin dingin. Semua tampak percaya diri dengan pakaian tipis dan rok tinggi yang menonjolkan lekuk tubuh mereka. Di sana, tidak ada tempat untuk kelemahan. Mentari merasa dirinya seolah terjebak dalam dunia yang tidak pernah bisa ia mengerti.
Ia melangkah pelan menuju motornya, lalu melepas helm dan menggantungkan helm tersebut di spion motor. Posisinya terasa aneh, seperti ia sedang mempersiapkan diri untuk memasuki dunia yang penuh dengan kebohongan dan permainan. Ia tahu apa yang akan datang, tetapi tetap saja ada perasaan enggan yang menggantung di hatinya. Begitu ia melangkah masuk ke dalam gedung apartemen, suasana lobi yang ramai menyambutnya. Suara tawa pelan, bisikan, dan derap sepatu hak tinggi beradu dengan suara lift yang naik turun. Semua suara itu terdengar seperti musik latar yang mengiringi langkahnya menuju takdir yang tidak bisa dihindari.
Di antara keramaian itu, sepasang mata memandangi Mentari dari arah sofa. Kevin. Pria muda dengan kulit putih pucat dan tubuh tinggi besar itu tak pernah gagal menarik perhatian. Senyumnya sinis, dan ekspresi wajahnya selalu penuh dengan misteri yang menantang. Ketika Mentari melihatnya, ada perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya. Sebuah perasaan campur aduk antara kebencian dan kebingungan. Kevin selalu berhasil membuat segalanya terasa lebih rumit.
“Tumben banget jam segini udah dateng. Harusnya tiap hari rajin kayak gini,” gumamnya sambil melirik jam tangannya.
Mentari tidak membalas, hanya mengangguk pelan, lalu berjalan menuju lift. Kevin segera bangkit dan mengejarnya, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk mengatur langkahnya lebih jauh.
"Seenaknya banget lo. Berlaga jadi bos ya sekarang? Malem minggu nih, lagi rame. Lo nggak bisa balik cepet," ujar Kevin dengan suara berat, menahan pintu lift agar tetap terbuka.
Mentari hanya diam. Ia sudah lelah dengan kebiasaan Kevin yang selalu mengatur segalanya. Ketika mereka masuk ke dalam lift, ketegangan terasa semakin jelas. Kevin, dengan wajah kesal, menekan tombol untuk lantai tiga dan lima. Mentari melipat tangan di dada, mencoba menenangkan diri.
"Lo mulai males-malesan ya sekarang. Lo lupa..." Kevin meliriknya dengan tajam.
"Please, malem ini aja," potong Mentari cepat, hampir seperti doa. Suara itu terdengar penuh permohonan, tetapi juga penuh dengan kelelahan.
Kevin menatapnya sejenak, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Oke deh. Tapi ada yang harus lo beresin dulu sekarang."