Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #2

Cahaya Meredup

Suara alarm yang nyaring dan mengganggu memecah kesunyian kamar yang sebelumnya hanya dihiasi oleh desah napas dan bunyi detak jam dinding. Alarm itu seolah menjadi tanda bahwa hari baru telah tiba, meski Mentari merasa masih terperangkap dalam dunia antara mimpi dan kenyataan. Tangannya meraba-raba di atas kasur, berusaha mencari tombol untuk mematikan suara itu tanpa harus membuka mata. Kepalanya masih terbenam di bantal, tubuhnya enggan bangkit, dan kesadarannya masih terhuyung-huyung, seakan dunia ini masih belum siap menyambutnya kembali.

Setelah beberapa detik berjuang melawan rasa malas yang menguasainya, akhirnya Mentari berhasil menemukan tombol alarm dan mematikannya. Ia menghela napas lega, tetapi tetap terbaring, tak beranjak. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, lehernya kaku, dan kepalanya terasa berat, seolah disumpal kapas basah yang membuat setiap gerakan terasa sulit. Meski begitu, ia tetap memaksakan diri untuk duduk perlahan.

Saat duduk, selimut yang semula menutupi tubuhnya jatuh begitu saja, dan Mentari menatap sekeliling. Kamarnya yang sempit dan gelap tampak berantakan, seperti baru saja dilanda badai. Pakaian-pakaian berserakan di lantai, botol plastik tergeletak di mana-mana, dan meja belajar dipenuhi dengan sisa camilan yang seharusnya sudah dibuang kemarin. Sepertinya semalam ia kembali melupakan kewajiban-kewajibannya, dan kamar ini menjadi saksi bisu dari keputusannya untuk menunda segala yang tidak ingin ia hadapi.

Dengan malas, Mentari bangkit dan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Langkahnya terhuyung-huyung, seolah setiap langkah begitu berat. Sesampainya di kamar mandi, ia melemparkan celananya hingga setengah betis dan duduk di atas kloset. Matanya setengah tertutup, dan tangannya bergantian menggosok wajah yang masih dihiasi kantuk. Waktu berjalan begitu lambat, dan suara air yang mengalir dari kloset itu seakan menjadi musik yang hanya terdengar di kepalanya.

Ketika suara kloset berhenti, ia berdiri dan menarik kembali celananya. Mentari melangkah menuju cermin di depan wastafel, melihat pantulan dirinya yang semakin sulit dikenali. Rambutnya kusut, eyeliner dari semalam masih menempel di bawah matanya, dan wajahnya tampak sayu. Yang paling mengejutkan, ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti malam sebelumnya. Seketika, rasa panik kecil muncul di dadanya, dan ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, pikirannya kosong, seperti layar putih yang tak berisi apa-apa selain kilasan suara musik keras, tawa Kevin, dan wajah Pak Bambang yang samar-samar menari di benaknya. Sisanya menghilang entah ke mana.

Mentari kembali ke kamar dengan langkah yang lebih cepat. Ia berdiri di ambang pintu, memandangi ruangan yang berantakan itu, merasa seolah kamar ini menjadi representasi dari kekacauan dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu mulai membereskan kamar. Baju-baju kotor yang berserakan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang cucian. Laci meja dibuka, trashbag diambil, dan ia mulai memunguti sampah satu per satu—botol minuman, bungkus makanan, tisu, semuanya dimasukkan ke dalam kantong besar itu. Ia terus mengumpulkan sampah dengan cepat, seolah setiap benda yang dibuang bisa membersihkan pikirannya yang semrawut.

Saat sedang memungut botol di dekat ranjang, ia melihat sesuatu yang terselip di bawah tempat tidur. Selembar kertas yang hampir terlupakan. Dengan sedikit rasa penasaran, ia menariknya keluar.

Itu adalah bukti pembayaran rumah sakit. Kertas itu tampak lecek dan sedikit kusam, namun angka yang tercetak di bawahnya masih terbaca jelas: “Rp 246.540.000,-” Tepat di bawah angka itu, cap biru bertuliskan “LUNAS” menghantamnya seperti tamparan yang keras. Mentari menggenggam kertas itu sebentar, merasakan berat yang muncul dalam dadanya, lalu meletakkannya di atas meja kecil di samping kasur.

Di samping bukti pembayaran itu, tergeletak sebuah bingkai foto yang jatuh. Ia mengambilnya, dan foto itu menampilkan dirinya yang masih mengenakan seragam SMA yang penuh coretan, dipeluk oleh seorang pria berkacamata dengan senyum hangat—ayahnya. Mentari menatap foto itu lama, merasakan dadanya sesak. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan bingkai foto itu kembali dengan hati-hati.

Namun, tatapannya kemudian tertuju pada jam alarm yang terletak di meja sebelah tempat tidurnya. Ketika matanya melirik ke layar jam, ia terbelalak kaget.

“Pukul 09.00!”

Mendengar itu, rasa panik langsung melanda dirinya.

"Mampus gue!" serunya, hampir berteriak, saat menyadari betapa terlambatnya ia. Tanpa membuang waktu, ia segera memungut sisa sampah terakhir, mengikat trashbag, dan menyeretnya keluar kamar. Ia membuka lemari pakaiannya dengan tergesa-gesa, mengambil pakaian seadanya, namun beberapa baju jatuh ke lantai. Mentari tidak sempat untuk merapikan, terburu-buru mengenakan pakaian, mengambil tas dan helm, dan berlari keluar.

Di parkiran kost, motornya berada di posisi yang sulit, terhimpit oleh motor-motor lain yang parkir sembarangan. Sepatunya yang belum terpasang sempurna, dan helm yang miring di kepala, menambah kekacauan dalam dirinya. Ia berusaha menarik motornya, namun gagal. Bodinya justru membentur kendaraan lain yang parkir dekat dengan motornya.

Dari pos jaga, terdengar langkah kaki mendekat.

“Saya aja yang keluarin motornya, Mbak,” kata Joko, penjaga kost yang sudah seperti paman bagi anak-anak di sana.

Mentari nyaris melompat kaget. “Eh, iya, Pak… makasih ya,” jawabnya dengan gugup sambil menunduk malu.

Joko menarik motornya dengan mudah, sementara Mentari cepat-cepat merapikan sepatu dan helm. Setelah motornya siap, Joko memegangi kemudi agar stabil.

“Silakan, Mbak.”

“Makasih, Pak,” jawab Mentari sambil tersenyum kecil, lalu segera menyalakan motor dan tancap gas.

Kampus pada saat itu sudah penuh dengan keramaian mahasiswa yang berlarian menuju kelas. Mentari, dengan helm yang masih terpasang di kepalanya, berlari tergesa-gesa menuju ruangan kelas yang berada di ujung lorong. Nafasnya terengah saat sampai di depan pintu kelas. Ia mengintip ke dalam. Kelas sudah hampir penuh. Beberapa mahasiswa menoleh menatapnya, salah satunya adalah Kevin yang duduk santai di barisan paling belakang. Pandangannya sempat bertemu dengan Mentari, tetapi hanya sesaat—lalu kembali teralihkan pada ponselnya.

Mentari masuk dan duduk di samping Putri, sahabatnya yang sedang mencatat sesuatu.

“Syukur deh, dosennya belum dateng,” kata Mentari, melepaskan helm sambil berusaha menenangkan napasnya.

Putri menoleh dengan tatapan heran. “Lo gak punya jam apa gimana? Ini udah masuk jadwal lain, tau.”

Mentari mengeluarkan jam tangan dan meliriknya.

“10:23.”

“Berarti... Pak Bowo udah selesai? Lo nggak tipsenin gue?”

Putri menatapnya, seolah heran.

“Enggak lah. Dosen kenal muka lo. Kalau lo ngilang terus gue tipsenin, gue yang kena masalah.”

“Yah… terus gimana dong...” Mentari menunduk, ekspresinya merana.

Putri menatap sahabatnya itu dalam-dalam.

Lihat selengkapnya