Malam itu, rumah Mentari terbenam dalam keheningan yang menguasai setiap sudut ruang. Hanya ada suara langkah kaki yang memecah kesunyian, disertai dengan desiran angin yang masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Lampu jalan memancar redup, menerangi trotoar yang sepi dengan kilauan cahaya yang tenang. Beberapa mobil terparkir rapi di sepanjang jalan, menciptakan suasana sepi yang hanya terganggu oleh suara langkah kaki yang terdengar samar. Mentari, mengenakan jaket gelap dan celana panjang, bergegas menuntun motornya keluar dari area parkir yang sepi. Gerbang kost yang terbuka perlahan bergeser, dan ia menatap sekeliling, suasana sepi, aman, seperti malam-malam lainnya.
Ia menutup kembali gerbang dengan hati-hati, memastikan semuanya terkunci. Setelah itu, ia kembali menaiki motornya, meninggalkan kost yang sudah menjadi tempatnya beristirahat selama beberapa waktu. Mentari menyalakan motor, deru mesin menyambut malam yang mulai mendingin, dan ia pun melaju, meninggalkan lingkungan kost yang tak banyak menyisakan kenangan selain kepenatan dan kelelahan.
Namun, tanpa ia sadari, sebuah mobil bergerak pelan, mengikuti langkahnya dengan hati-hati, menjaga jarak yang cukup jauh. Keberadaan mobil itu tak menarik perhatian Mentari, meski ia tak tahu bahwa bayangan itu selalu mengikuti jejaknya malam ini.
Malam itu, Mentari terus melaju melewati jalanan yang mulai ramai, meski tak sepadat siang hari. Deru kendaraan di sekitarnya memberikan suara yang membuatnya merasa sedikit lebih terhubung dengan dunia luar, meski pikirannya tetap terfokus pada jalan yang terus terbentang di depannya. Seiring perjalanan, bayangan mobil itu tetap ada, mengikuti setiap langkahnya dengan kesabaran dan kehati-hatian.
Tiba di sebuah persimpangan, lampu merah menyala. Mentari menghentikan motor dengan sempurna dan menunggu lampu berubah. Di belakangnya, mobil itu ikut berhenti, sedikit mundur untuk menjaga jarak. Mentari menoleh ke kanan dan kiri, memastikan keadaan aman. Setelah beberapa detik, lampu berubah hijau dan ia melanjutkan perjalanan. Mobil di belakangnya juga bergerak mengikuti, menjaga jarak yang sama seperti sebelumnya.
Suasana parkiran apartemen itu tampak begitu sepi, hanya beberapa kendaraan yang terparkir dengan rapi. Mentari memarkirkan motornya di salah satu spot kosong, melangkah dengan santai dan membuka helm, menggantungkan helm itu di kaca spion motor. Ia menghirup udara malam yang sejuk, membiarkan angin menyentuh wajahnya sejenak. Meskipun demikian, ia tak meluangkan banyak waktu untuk bersantai. Langkahnya mantap menuju pintu masuk apartemen, tubuhnya terasa lelah, dan pikirannya tak bisa berhenti berputar.
Namun, tidak jauh dari situ, di sisi jalan yang agak teduh, mobil yang sejak tadi mengikutinya berhenti. Kaca mobil itu sedikit terbuka, dan dari sana, terlihat Putri yang sedang memandangi Mentari dengan seksama. Wajahnya penuh rasa penasaran dan kekhawatiran yang semakin besar. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun yang pasti, ada sesuatu yang mencurigakan dalam sikap sahabatnya itu.
"Mentari... lo ngapain disini?" gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya penuh kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Ia ingin mendekati, ingin bertanya lebih banyak, tetapi hatinya mengatakan untuk tetap diam dan memperhatikan lebih seksama. Perasaannya yang membingungkan membuatnya tak tahu harus berbuat apa.
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan pikirannya, suara dari arah jendela mobil membuatnya terlonjak kaget. "Cari apa, Neng?" suara itu datang dengan nada sopan, logat Sunda yang kental terasa begitu akrab di telinga.
Putri terlonjak kaget, matanya terbelalak. "Astagfirullah!" serunya, terkejut oleh suara yang datang dari arah samping mobil.
"Maaf, Neng, Abah nggak maksud ngagetin," ujar pria tua itu dengan penuh kesopanan, sambil membungkukkan badan. Sarung yang melingkar di tubuhnya memberikan kesan seperti selimut hangat di malam yang dingin. Putri menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, mencoba untuk tidak panik.