Malam itu, rumah Mentari terbenam dalam keheningan yang menguasai setiap sudut ruang. Hanya ada suara langkah kaki yang memecah kesunyian, disertai dengan desiran angin yang masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Lampu jalan dari luar memancar lembut, membiarkan sedikit cahaya masuk ke dalam rumah, menciptakan suasana yang suram. Mentari menutup pintu dengan hati-hati, mengunci pintu dengan suara kecil yang nyaris tak terdengar.
Dengan napas yang sedikit terengah, ia melangkah ke ruang tengah, kemudian menyalakan lampu. Seketika, rumah itu terangkat dari bayang-bayang kegelapan, cahaya lampu menerangi meja dan kursi yang terletak acak-acakan di sana. Mentari meletakkan tasnya di atas meja, kemudian memanggil, "Bapa! Tari pulang!" Suaranya terdengar penuh harapan, namun tidak ada jawaban yang datang. Kamar itu tampak kosong, begitu pula dengan seluruh rumah yang terasa asing dalam keheningan malam itu.
Dengan cemas, ia berjalan ke kamar ayahnya. Seperti biasa, mentari berharap ayahnya sudah ada di dalam kamar, atau setidaknya bisa mendengar panggilannya. Ia membuka pintu kamar dengan cepat, namun hanya mendapati ruang itu kosong. Ketegangan mulai merayap ke dalam hatinya, dan ia berlari menuju dapur yang tampak lebih gelap dari biasanya. "Pa? Bapa?" suaranya sedikit lebih keras, namun tetap tidak ada sahutan.
Ketika matanya menoleh ke arah kamar mandi yang sedikit terbuka, ia terhenti sejenak. Di sana, di atas lantai kamar mandi yang dingin, terbaring sosok tubuh yang sangat dikenalinya. Ayahnya. Tanpa berpikir panjang, ia berlari mendekat. "Bapa!" teriaknya dengan suara pecah, matanya mulai berair.
Tubuh ayahnya terkulai lemas. Mentari langsung mengangkat kepala ayahnya dengan tangan gemetar, menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ia mencoba mencari denyut nadi, panik. "Bapa... Bangun, Pa! Bapa!" Tangisnya mulai tak terkendali, suaranya tersendat-sendat. Saat itu, rasa takut yang terpendam selama ini tiba-tiba meluap. Ia segera merogoh ponsel dari saku celananya, jari-jarinya gemetar ketika ia menekan nomor darurat. "Tolong! Ayah saya...!" Suara panggilan itu hampir tenggelam oleh isak tangis yang semakin keras.
Rumah sakit itu malam itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk dan kegelisahan. Suara riuh terdengar di mana-mana, seolah seluruh tempat itu dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berjuang dengan kehidupan dan kematian. Mentari berjalan mengikuti petugas yang mendorong tempat tidur dengan cepat, ayahnya terbaring tak bergerak, dipasang alat bantu pernapasan. Ia berjalan mengikuti dengan langkah tergesa, tak mampu menahan tangisannya yang terus tumpah. "Bapa!" panggilnya lagi, namun tak ada jawaban selain desakan suara ambulans yang datang dari ruang yang semakin jauh.
Di ruang UGD, beberapa petugas medis sedang bekerja dengan cepat, membawa ayahnya ke dalam ruang yang tertutup rapat. Mentari mencoba ikut, tapi dihadang oleh seorang perawat yang dengan tegas menahannya. "Tidak boleh masuk, Neng," kata perawat itu. Mentari tidak peduli, namun hanya bisa merasakan hatinya hancur saat melihat tubuh ayahnya dibawa pergi begitu saja tanpa bisa ikut menemaninya.
Waktu berlalu dengan sangat lambat. Mentari berdiri di luar ruang UGD, menunggu dengan hati yang dipenuhi rasa cemas. Ia terisak pelan, suara tangisnya bergema pelan di lorong rumah sakit yang sepi. Hingga akhirnya, seorang dokter keluar dari ruang UGD. Wajahnya serius, langkahnya berat. Mentari langsung menghampiri, wajahnya dipenuhi harapan yang tak terucapkan.
"Gimana ayah saya, Dok?" tanya Mentari, suaranya serak, hampir hilang karena tangisan yang terus menerus mengguncang tubuhnya.
Dokter itu menghela napas, kemudian menatap Mentari dengan tatapan penuh penyesalan. "Pasien harus segera dioperasi. Pembuluh darah di otaknya pecah dan menyebabkan pendarahan serius. Jika kami terlambat menangani, kecil kemungkinan untuk selamat."