Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #7

Tak Bisa Lagi Kembali

Pagi itu, Mentari duduk di depan cermin kamar kostnya, menatap bayangannya yang lelah. Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah jendela, menyinari ruang kecil yang terasa sempit dan sesak. Ia mengoleskan sedikit bedak ke wajahnya, mencoba menutupi kelelahan yang jelas terlihat, lalu mulai merapikan rambutnya. Sebuah rutinitas yang terasa semakin berat seiring waktu. Meski di luar sana dunia tampak bergerak maju, bagi Mentari, setiap langkah terasa penuh beban. Ia merasa seperti terjebak dalam siklus yang tak pernah berakhir, terperangkap antara kewajiban, impian, dan kenyataan yang terus mencekiknya.

Setiap kali ia menatap dirinya di cermin, rasanya seperti melihat seseorang yang berbeda—bukan Mentari yang dulu selalu ceria, penuh semangat dan impian besar. Kini, ada banyak kekhawatiran yang menggelayuti pikiran dan hatinya. Masalah dengan utang, beasiswa yang terancam dicabut, serta kebingungan atas kehamilan yang tidak diinginkan. Rasa cemas itu membuatnya merasa seolah terperangkap dalam sebuah dunia yang tidak bisa ia kendalikan.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Mentari menoleh dengan wajah sedikit bingung. Suara ketukan itu terdengar lagi, lebih tegas kali ini. Mentari berdiri dan berjalan menuju pintu, membuka sedikit pintu untuk melihat siapa yang datang. Di depan pintu, tampak Putri, berdiri dengan sebuah tas belanja di tangan.

"Tumben masih pagi kesini," ujar Mentari dengan nada agak kaget, matanya menyipit sedikit, menatap Putri yang terlihat berseri-seri.

Putri tersenyum lebar, "Mulai hari ini, lo berangkat kuliah bareng gue," jawabnya santai, sembari melangkah masuk ke dalam kamar tanpa menunggu persetujuan Mentari. "Ayo, cepetan, nanti malah telat."

Mentari menatapnya sejenak, ragu. "Gue bisa berangkat sendiri kok," jawabnya pelan, namun Putri hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Ga boleh. Gue harus jagain lo. Pokoknya nurut aja, oke?" Putri berkata dengan suara tegas, diiringi gerakan kepala yang mengisyaratkan agar Mentari segera bergegas.

Mentari hanya bisa menghela napas panjang, merasa tak ada gunanya melawan. Ia mengambil tasnya dan bergegas menuju pintu, namun Putri tiba-tiba menahan tangannya.

"Sebentar. Lo nggak bisa pake baju kaya gini," kata Putri, sambil menyerahkan tas belanja yang sedari tadi ia bawa. Mentari membuka tas itu dan menemukan sebuah kemeja oversize.

"Perut lo suatu saat bakal tambah gede. Jadi mulai sekarang, lo harus biasain pake style kaya gini biar orang nggak curiga," ujar Putri sambil tersenyum, menambahkan, "Cepetan pake, jangan sampe kita telat."

Mentari memandang kemeja itu sejenak, lalu mengenakannya dengan ragu. Ia mengancingkannya perlahan, merasa tak nyaman dengan kenyataan bahwa tubuhnya sedang berubah. Setelah mengenakannya, ia mengambil tasnya dan mengikuti Putri keluar dari kamar kost itu.

Mereka berjalan keluar kost, langkah Mentari terhenti sejenak saat kaki-kakinya menjejakkan tanah di luar. Hari ini terasa seperti hari yang penuh dengan ketidakpastian. Ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, meskipun ia tahu bahwa tak ada yang bisa diubah. Mereka menuju mobil Putri yang terparkir tak jauh dari kost. Mentari membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang, masih terus memegangi kemejanya, sesekali mengelusnya dengan tangan. Wajahnya tampak cemas, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya secara langsung. Di luar jendela, dunia bergerak seperti biasa, namun ia merasa begitu terasing di tengah keramaian.

Putri mengemudi dengan kecepatan sedang, fokus pada jalanan yang semakin padat. "Makasih banyak, Put. Udah care sama gue, sampe bawain baju kaya gini segala," ucap Mentari, suaranya terdengar pelan, namun penuh rasa terima kasih.

Putri tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Kan udah dibilang, gue bakal bantu."

Mentari mengangguk pelan. "Sorry ya sebelumnya gue nutup diri dari lo. Jujur, malu Put kalo harus nyeritain kondisi gue saat ini," katanya, wajahnya sedikit menunduk, seolah ada sesuatu yang terpendam jauh di dalam hatinya.

Lihat selengkapnya