Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #9

Persimpangan Keraguan

Mentari berjalan cepat menuju parkiran, tangan Putri masih tergenggam erat di tangannya. Kecepatan langkahnya tak terhenti, meskipun sesekali Putri berusaha melepaskan dirinya. Ketegangan yang dirasakannya sejak tadi, seakan mulai mencapai puncaknya. Ia ingin segera keluar dari gedung itu, segera menghindar dari tatapan yang dirasa semakin berat. Setiap langkah yang ia ambil seolah semakin memperberat beban yang dipikulnya. Semakin lama berada di tempat itu, semakin ia merasa sesak dan terpojok oleh kenyataan yang tak dapat ia hindari.

Putri, merasa bingung dengan sikap Mentari, akhirnya melepaskan tangan Mentari dan berhenti berjalan. "Kenapa langsung main pergi aja sih?" tanya Putri, menatap dengan tatapan penuh pertanyaan, mencoba mencari jawaban dari sikap Mentari yang tiba-tiba berubah.

Mentari tidak menghiraukan kata-kata Putri, matanya justru tertuju pada sekitar parkiran, seolah ada sesuatu yang menarik perhatian lebih besar dari Putri. Putri semakin heran melihat sikap Mentari yang tiba-tiba berubah begitu drastis. Biasanya Mentari tidak seperti ini, ia yang selalu ceria dan penuh semangat. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Suasana semakin mencekam.

"Lo liatin apaan sih?" tanya Putri, kali ini dengan nada yang lebih cemas. Namun Mentari tetap diam, hanya mengangguk sambil mengarahkan pandangannya ke sekeliling, tampak cemas dan waspada.

"Bukain pintu mobilnya," jawab Mentari dengan nada kesal, suara itu begitu rendah, namun penuh tekanan. Wajahnya yang sebelumnya tampak datar, kini berubah penuh dengan ekspresi keinginan yang kuat. Putri menatap Mentari dengan bingung, namun akhirnya mengalah dan membuka pintu mobil dengan cepat.

Setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil, suasana di dalamnya terdiam sejenak. Putri yang mengemudi, sesekali melirik ke arah Mentari yang tampak termenung. Putri tahu ada sesuatu yang lebih besar yang membebani sahabatnya. Namun ia tidak tahu harus berkata apa. Mentari tak pernah menjadi seperti ini sebelumnya, terperangkap dalam kebingungannya sendiri, tidak tahu harus melangkah ke mana.

"Kenapa sih lo?" Putri akhirnya bertanya setelah beberapa saat keheningan, melihat Mentari yang tampaknya tidak bisa menenangkan pikirannya. "Lo liat kan tadi mereka bakal hubungi lagi, berarti rencana kita buat ketemu berhasil."

Mentari menatap Putri sekilas, dan dalam hatinya, kata-kata itu mengganggu. "Hubungi pake apa? Mereka aja nggak tahu nama kita, nggak ada nomor telepon yang diberikan. Mereka cuma ngomongin kita kayak sampah yang bisa dibuang kapan aja," jawab Mentari, suaranya terdengar kecewa dan frustrasi. Ia merasa terhina, merasa seolah-olah usahanya tidak dihargai.

Putri terdiam, akhirnya menyadari betapa dalam kebingungan yang menghantui Mentari. "Iya tadi gue mau ngasih nomor telepon, tapi lo malah narik gue keluar. Sekarang buyar kan?" Putri merasa cemas, sesal perlahan menyusup dalam suaranya. Ia merasa seolah-olah telah membuat segalanya semakin buruk dengan keputusannya untuk mengikuti kehendak Mentari tanpa berpikir panjang.

Mentari menundukkan kepala, matanya menatap keluar jendela. "Masih nggak paham, Put? Mereka emang nggak niat bantu kita lagi. Dari cara mereka ngobrol aja tadi, keliatan banget mereka berusaha ngusir kita. Si Hendra itu pasti nggak bakal mau ketemu kita," ujarnya dengan nada pasrah. Setiap kata yang ia ucapkan terasa semakin dalam menancap ke hatinya. Semua usaha mereka untuk mendapatkan bantuan terasa sia-sia.

Putri mendengarkan dengan hati-hati, namun ia merasa bingung. Mereka sudah menghabiskan banyak waktu merencanakan segala hal, namun kini mereka hanya merasa terjebak. "Terus, apa rencana lo?" Putri akhirnya bertanya, suara itu penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit keputusasaan. Ia merasa tidak ada pilihan lain selain mengikuti apa pun yang Mentari putuskan.

Mentari mendesah panjang, memandang ke depan dengan mata yang penuh tekad. "Kita tunggu si Hendra itu keluar. Nanti kita samperin langsung," jawabnya dengan keyakinan yang terbentuk perlahan, meskipun rasa takut dan keraguan tetap menyelimuti hatinya. Ia merasa seakan-akan ini satu-satunya cara untuk mengubah keadaan.

Malam mulai merayap, dan suasana di dalam mobil menjadi lebih suram. Mentari duduk tegak, fokus melihat ke arah pintu gedung, matanya tidak berkedip. Ia mengelus perutnya perlahan, masih merasakan mual yang datang dan pergi. Putri yang duduk di kursi pengemudi tampak kelelahan, tubuhnya bersandar pada sandaran kursi yang diturunkan. Keheningan di dalam mobil membuat waktu terasa bergerak lambat, dan ketegangan antara mereka semakin terasa.

Putri melirik ponselnya, menunjukkan pukul 20.36. "Mau nunggu sampe kapan? Dia udah balik kali, Tar," katanya, dengan nada suara yang mulai terdengar penuh kebosanan, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit kecemasan yang melandanya.

Mentari tetap diam, tidak mengalihkan pandangannya dari pintu gedung. "Tunggu bentar lagi, masih ada mobil yang parkir. Artinya, di sana masih ada orang," jawabnya dengan penuh keyakinan, meskipun dalam hatinya ia mulai meragukan keputusannya untuk menunggu. Namun, ia tidak bisa membiarkan diri untuk mundur begitu saja.

Putri mengernyitkan dahi, merasa semakin tak sabar. "Gimana kalo ga ada? Atau dia keluar bukan dari pintu ini?"

Lihat selengkapnya