Suasana di kedai nasi goreng kaki lima itu terasa cukup ramai. Terdengar dentingan alat masak yang berpadu dengan suara hiruk-pikuk pembeli yang sedang menikmati hidangan mereka. Mentari duduk di kursi mobil dengan pintu terbuka, matanya terfokus pada jalanan yang tampak sibuk di luar. Udara malam yang hangat seakan menyelimuti suasana di sekitar mereka. Sementara itu, Putri sedang berdiri di dekat gerobak penjual nasi goreng, menunggu pesanannya.
Tak lama, penjual nasi goreng itu menyodorkan dua piring nasi goreng kepada Putri, yang langsung menyerahkan uang pada penjual. "Makasih ya Mas. Kembaliannya ambil aja," ucap Putri dengan senyum ramah.
Penjual nasi goreng itu mengangguk dan membalas, "Makasih, Mbak."
Dengan hati-hati, Putri membawa kedua piring nasi goreng itu ke arah mobil, melangkah dengan pasti meski sedikit terburu-buru. Mentari yang masih duduk di dalam mobil, menatap kosong ke arah luar jendela. Ia masih terhanyut dalam pikirannya sendiri, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Saat Putri membuka pintu mobil, Mentari menoleh sekilas.
"Makan dulu, abisin tuh. Gara-gara hal ginian lo jadi lupa makan," ujar Putri, mengangkat salah satu piring nasi goreng dan menyodorkannya pada Mentari.
Mentari hanya mengangguk pelan dan mulai makan dengan perlahan. Ia merasa perutnya kosong, namun ada rasa yang sulit diungkapkan, seperti ada kekosongan yang tak bisa diisi dengan apapun.
Putri duduk di kursi pengemudi, melihat Mentari yang perlahan menghabiskan nasi goreng itu. Putri memperhatikan perut Mentari yang kini mulai terlihat lebih besar. Ia menahan diri untuk tidak berkata apa-apa, namun kekhawatirannya tetap terlihat jelas di wajahnya.
"Ingét, lo tuh lagi hamil..." kata Putri dengan nada lembut, mencoba mengingatkan Mentari.
Mentari melotot ke arah Putri, matanya tampak penuh amarah dan kesedihan. "Ssst!" bisiknya dengan suara keras, mengisyaratkan Putri untuk tidak berbicara lebih lanjut.
Putri hanya terdiam, mencoba memahami perasaan sahabatnya yang tengah dilanda kebingungan. Ia kembali berbicara dengan suara pelan. "Lo tuh lagi hamil, harus jaga kesehatan. Oh iya, gimana tadi ngobrol sama Pak Hendra?"
Sebelum Mentari sempat menjawab, ponselnya berdering. Ia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya, dan di layar terlihat nama "Kevin" yang tertera di sana. Mentari menatap ponselnya sejenak, lalu memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku dan melanjutkan makan.
"Siapa? Kok ga diangkat?" tanya Putri, penasaran dengan reaksi Mentari.
"Kevin," jawab Mentari singkat, wajahnya masih tampak bingung. "Gue masih bingung harus alesan apa ke dia."
Putri mengangguk, memahami bahwa Mentari sedang berusaha mencari alasan yang tepat. "Bilang aja lo harus ngurus bokap lo," sarannya.
"Mana bisa," Mentari menjawab pelan, matanya terlihat penuh keraguan. "Dia kan yang biayain pengobatannya, dia pasti tau kondisi Bapa."
"Iya sih..." Putri terlihat berpikir sejenak, "Gimana kalo bilang aja lo sakit."
Tak lama kemudian, ponsel Mentari kembali berdering, kali ini lebih keras. Mentari menatap Putri dengan tatapan penuh kebingungan, lalu mengangkat telepon itu.
"Ada apa?" Mentari menjawab singkat, suaranya terdengar sedikit tegang.
"Dimana lo? Udah jam berapa ini? Cepetan sini!" suara Kevin terdengar tegas dan penuh perintah dari ujung sana.
"Gue gabisa hari ini, lagi nggak enak badan," jawab Mentari, berusaha menyembunyikan kebingungannya.
"Mulai berani cari alesan ya sekarang," Kevin membalas dengan nada dingin dan agak menuduh.
"Udah ya, nanti gue kabarin lagi," jawab Mentari cepat, menutup teleponnya dan menatap kosong ke depan.
Putri yang mengamati semua itu, menyadari ketegangan yang semakin dalam. "Abisin, jangan di mainin doang," katanya dengan nada khawatir, mencoba mengubah suasana.
Mentari hanya diam, seolah kata-kata Putri tidak bisa mengurangi kekhawatirannya. Matanya terfokus pada nasi goreng yang kini sudah hampir habis, namun ia tak bisa menikmati makanannya dengan tenang.