Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #11

Terperangkap Keraguan

Kelas sudah dimulai, dan suasana di dalam ruang kuliah cukup riuh dengan suara diskusi ringan dari mahasiswa yang duduk di kursi mereka. Di depan, Bu Ajeng sedang sibuk menyampaikan materi dengan penuh semangat, tetapi tidak semua perhatian mahasiswa terfokus sepenuhnya pada pembelajaran. Di barisan tengah paling kiri, Mentari duduk bersama Putri. Mentari terlihat tidak sepenuhnya hadir dalam pembicaraan Bu Ajeng, meskipun ia sesekali menulis materi di buku catatannya.

Mentari duduk dengan kaki sebelah diangkat, menopang kakinya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk menulis. Namun, tak jarang, tangan kanannya beralih untuk mengelus perutnya yang sudah mulai membesar. Perasaan mual datang dan pergi, namun ia mencoba tetap fokus pada apa yang sedang diajarkan. Tetapi, semakin lama, perutnya semakin terasa berat, dan rasa cemas itu semakin mengusik pikirannya. Setiap detik yang berlalu seakan menambah ketegangan di dadanya.

Putri yang duduk di sebelahnya melihat dengan ekspresi kasihan. Matanya tertuju pada perut Mentari yang semakin membesar. "Lo pasti merasa gak enak, kan?" Putri bertanya pelan, suaranya mengandung rasa khawatir yang mendalam.

Mentari hanya mengangguk pelan tanpa berkata-kata. Sesekali, ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tubuhnya terasa lelah, dan meskipun ia berusaha menyibukkan diri dengan catatan kuliah, pikirannya terus melayang, mengingat masa depan yang semakin suram. Setiap kata yang keluar dari Bu Ajeng seakan hanya terdengar seperti angin, tak bisa menyentuh hatinya yang penuh kekhawatiran.

Saat Bu Ajeng sedang membahas materi tentang ekonomi makro, Mentari mendengarkan dengan setengah hati. Pikirannya berputar-putar pada masalah yang belum selesai—utang yang harus dibayar, keputusan yang belum diambil, dan kehidupan yang semakin terperangkap dalam dilema yang tak kunjung usai. Ia merasa tidak mampu melawan perasaan cemas yang terus menghantui. Seakan ada jurang yang semakin melebar di antara dirinya dengan dunia di luar sana.

Putri menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Melihat betapa gelisahnya Mentari membuat hati Putri semakin berat. Ia ingin sekali mengerti apa yang ada di pikiran Mentari, tapi sahabatnya selalu menutup diri, tidak ingin berbagi perasaan yang sesungguhnya.

Saat kelas berakhir, Putri langsung menyentuh lengan Mentari. "Gimana, Tar? Lo masih mau ke kantin?" tanya Putri dengan suara lembut. Mentari menatapnya sejenak, kemudian mengangguk pelan.

"Kita makan dulu aja deh, Put," jawab Mentari, suaranya lemah namun mencoba terdengar santai. "Mungkin bisa sedikit ngurangin pikiran gue."

Mereka berdua berjalan menuju kantin kampus. Suasana kampus sudah semakin ramai, dengan mahasiswa yang berlarian menuju kantin, berbincang, atau hanya menikmati waktu luang mereka. Begitu mereka sampai di kantin, Putri dengan cepat menuju ke salah satu kedai mie ayam yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa. Ia memesan dua mangkuk mie ayam dan membawa satu porsi untuk Mentari.

Suasana di kantin lebih riuh dibandingkan dengan kelas. Meja-meja dipenuhi oleh mahasiswa yang sedang makan siang, tertawa, dan berbicara. Dari arah salah satu kedai, Putri berjalan menuju meja mereka, semangkuk mie ayam di tangannya. Ia menyusuri lorong meja dan akhirnya sampai di meja tempat Mentari duduk. Dengan gerakan cepat, Putri menyimpan mie ayam itu di meja dan duduk di seberang Mentari.

Mentari masih sibuk dengan ponselnya, menggigit buah dari kotak yang ada di meja. Putri meliriknya dengan ekspresi heran. "Gue gak ngerti deh, Tar," katanya sambil mengaduk mie ayamnya. "Lo makan buah terus, kenapa nggak makan yang lain?"

Mentari menoleh, tersenyum tipis. "Lagi nggak selera makan berat," jawabnya, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa makanan tidak bisa lagi menenangkan perasaan yang terus bergejolak dalam dirinya.

Putri menatapnya lebih dalam. "Lo gimana sih? Lo harus makan yang bener, apalagi lagi hamil. Gak bisa cuma makan buah-buahan terus."

Mentari mengalihkan pandangannya ke meja, mencoba menghindari tatapan khawatir Putri. "Iya, Put. Gue tahu," jawabnya pelan. Meskipun ia tahu Putri hanya peduli, namun ada perasaan yang semakin menekan dirinya. Keadaan yang semakin rumit membuatnya merasa cemas, dan seringkali, makanan hanya menjadi pengalih perhatian sementara.

Suasana antara mereka berdua terasa hening sejenak. Putri mengaduk mie ayamnya tanpa berbicara lagi, sementara Mentari terus mengunyah buah dengan pikiran yang entah kemana. Semua ini terasa begitu jauh, seperti dunia yang semakin menjauh darinya. Ia merasa ada sesuatu yang harus dilakukan, tetapi ia belum menemukan cara yang tepat. Semua langkah yang sudah direncanakan terasa belum cukup untuk mengatasi beban yang semakin berat di pundaknya.

Lihat selengkapnya