Mentari melangkah pelan di trotoar yang ramai, setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah beban di pundaknya semakin menggandakan dirinya. Tangan kirinya menggenggam tas jinjing, di dalamnya terdapat beberapa berkas lamaran kerja yang telah ia siapkan dengan harapan. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, beberapa di antaranya berakhir dengan kegagalan, tapi ia tetap berusaha. Meskipun langkahnya cepat, hatinya terasa sangat berat, dan kecemasan itu terus mengganggunya.
Jalanan penuh dengan orang-orang yang sibuk, lalu lalang yang tak henti-hentinya. Di salah satu sudut jalan, Mentari berhenti di depan sebuah cafe kecil yang terlihat ramai. Matanya langsung tertuju pada sebuah kertas yang terpasang di kaca restoran, bertuliskan "Dicari Waiters". Sebuah harapan baru muncul dalam benaknya, namun sekaligus kekhawatiran yang menyelimutinya. Ia mendekatkan wajahnya ke kaca untuk memeriksa lebih jelas, dan setelah beberapa detik, akhirnya mengambil keputusan.
Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam restoran tersebut, namun begitu ia menyapa pelayan di dalam, ia segera merasakan adanya sesuatu yang berbeda. Suasana di dalam cafe itu terasa lebih kaku dari yang ia bayangkan.
Seorang pelayan wanita menghampirinya, dengan senyum yang tampak agak dipaksakan. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"
Mentari mencoba memberi senyum terbaiknya meskipun ia merasakan ketegangan di dadanya. "Saya lihat ada lowongan kerja di luar. Apa masih ada?" tanyanya, sedikit ragu.
Pelayan itu menatapnya sejenak, lalu menunduk, matanya menyapu tubuh Mentari yang sudah sedikit membesar. "Oh, masih ada, Mbak," jawab pelayan itu, namun suara yang keluar tidak sehangat yang diharapkan. "Tapi… apakah Mbak tahu kalau pekerjaan ini cukup menuntut?"
Mentari mengangguk, "Saya siap bekerja keras."
Pelayan itu memberikan senyum yang tidak terlalu meyakinkan, "Baiklah, saya akan panggil manajernya." Ia melangkah pergi, meninggalkan Mentari yang duduk di dekat pintu masuk.
Tak lama, pelayan itu kembali bersama seorang pria paruh baya yang mengenakan jas restoran dengan nama yang tertera di saku. "Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada datar.
Mentari berdiri dan memberikan senyum terbaiknya. "Saya tertarik dengan lowongan kerja sebagai pelayan yang ada di luar. Saya ingin melamar."
Manajer itu memandangnya dengan tatapan tajam. "Memang lowongan ini masih terbuka, tapi saya perlu jujur, pekerjaan ini cukup menuntut. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan kesehatan pegawai."
Mentari mencoba tidak menunjukkan kegelisahannya. "Saya siap, Pak. Saya memang sedang mencari pekerjaan dan ini kesempatan yang saya tunggu."
Namun, manajer itu memandang tubuh Mentari dengan pandangan penuh penilaian. "Mungkin kami akan pertimbangkan, Mbak, tapi… ini pekerjaan yang cukup berat. Kami khawatir kondisi Anda akan mempengaruhi kinerja. Terlebih lagi, pekerjaan di sini cukup cepat dan melibatkan banyak gerakan."
Senyum Mentari mulai meredup, ia bisa merasakan penolakan itu dengan jelas meskipun kata-kata manajer itu diungkapkan dengan hati-hati. "Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas pertimbangannya." Dengan langkah gontai, Mentari keluar dari kafe itu, hatinya semakin berat.
Di siang yang sama, Mentari melanjutkan perjalanannya menuju sebuah factory outlet yang ada di dekatnya. Ia sudah menyiapkan berkas lamaran lainnya, berharap kali ini ia akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Begitu ia memasuki outlet, seorang wanita menyambutnya dengan senyum ramah, namun sikapnya segera berubah setelah melihat isi lamaran yang dibawa Mentari.
"Apakah kamu sedang mencari pekerjaan?" tanya wanita itu sambil mengambil lamaran dari tangan Mentari.
"Iya, Bu. Saya melamar untuk posisi di sini," jawab Mentari dengan percaya diri.
Wanita itu memeriksa berkas lamaran Mentari dan kemudian menatapnya dengan pandangan yang agak ragu. "Kami mencari seseorang yang dapat bekerja lebih fleksibel. Kami khawatir jika Anda bekerja di sini, Anda akan kesulitan karena kondisi Anda saat ini."