Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #14

Senyuman yang Tulus

Mentari berdiri di depan pintu restoran yang baru saja ia masuki. Ia memandang sekeliling, memperhatikan atmosfer yang sibuk dan ramai, dengan aroma kopi yang menyatu dengan bunyi gelas yang berdenting dan percakapan para pengunjung. Suasana restoran ini berbeda dari tempat-tempat sebelumnya yang sempat ia kunjungi. Tertulis jelas di kaca restoran sebuah tanda lowongan pekerjaan yang memanggil harapan baru baginya. Papan itu tak hanya menarik perhatian, tetapi juga memberi secercah cahaya di tengah kegelapan yang sedang ia hadapi.

Mengambil napas dalam-dalam, Mentari melangkah memasuki restoran itu, merasakan aliran angin lembut dari pendingin ruangan yang menenangkan. Beberapa langkah pertama terasa seperti mimpi yang akan segera berakhir, namun ia berusaha untuk tetap percaya bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa disia-siakan. Suara mesin kopi yang berderak di belakang barista, ditambah dengan riuh rendah percakapan antara pengunjung dan pelayan yang datang dan pergi, menciptakan sebuah irama yang mengingatkannya pada dunia yang begitu sibuk, sementara dirinya merasa terjebak dalam kegelisahan yang semakin dalam.

Setelah beberapa langkah, ia mendekati pelayan yang kebetulan berjalan melintas.

“Permisi, Mas,” ucap Mentari dengan nada yang sedikit ragu, namun berusaha terdengar percaya diri.

Pelayan yang menoleh kepadanya memberi senyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya dengan hangat.

Di dalam hati, Mentari merasa sedikit lebih lega melihat respon yang positif. Ia menatap pelayan itu dan kemudian melanjutkan, “Di depan ada tanda lowongan pekerjaan, apakah masih ada?”

“Oh, masih ada, Mbak,” jawab pelayan itu sambil mengangguk. “Mbak mau melamar?”

“Iya, Mas,” jawab Mentari dengan penuh harap. “Saya harus kemana ya?”

Pelayan itu menimbang sejenak sebelum menjawab, “Tunggu sebentar, Mbak. Biar saya temui dulu manajernya.” Tanpa menunggu lebih lama, pelayan itu pun pergi menuju ruang belakang restoran.

Mentari berdiri menunggu, mencoba menenangkan dirinya, meskipun kegelisahan masih terasa di dalam dadanya. Ia memeriksa kembali berkas-berkas lamaran yang ada dalam tas jinjingnya, meremasnya sejenak sebelum membukanya untuk memastikan semuanya lengkap. Hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Di luar sana, para pengunjung restoran menikmati makanan mereka, tertawa, bercengkerama, sementara dirinya merasa seperti terasing dalam dunia yang serba cepat ini. Ia merasa seperti seorang pengamat yang tak pernah benar-benar menjadi bagian dari cerita yang ada.

Tak lama, pelayan itu kembali bersama seorang pria yang mengenakan jas restoran dengan nama yang tertera di saku dada. "Mbak, Pak Manajer mau bertemu, mari ikuti saya," kata pelayan itu.

Mentari mengikuti pelayan itu dengan langkah hati-hati, meyakinkan diri bahwa ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Mereka sampai di depan sebuah ruangan di bagian belakang restoran. Pelayan itu membuka pintu dan memberi isyarat untuk masuk.

“Silakan,” kata pelayan itu, dan Mentari pun melangkah masuk.

Di dalam, seorang pria muda dengan kemeja lengan pendek yang terlihat agak santai sedang duduk di belakang meja, sibuk dengan tumpukan dokumen. Ia menatap Mentari sejenak sebelum tersenyum ramah.

“Selamat siang, Mbak. Silakan duduk. Maaf kalau ruangan ini agak berantakan,” ujarnya dengan nada yang tidak terlalu formal, namun tetap profesional.

Mentari membalas senyumannya dan duduk di kursi yang disediakan. Ia mengangguk, berusaha tidak terlalu memperlihatkan kecemasannya. “Iya, nggak apa-apa, Pak,” jawabnya dengan sopan.

“Perkenalkan, saya Damar,” pria itu memperkenalkan diri. “Sekarang, coba perkenalkan diri kamu.”

Mentari mengangkat wajahnya, sedikit ragu tapi berusaha percaya diri. “Nama saya Mentari, Pak. Saya masih aktif berkuliah tingkat akhir.”

Damar mengangguk. “Kenapa kamu ingin melamar kerja di sini?”

Pertanyaan itu datang begitu langsung, dan untuk sesaat Mentari terdiam. Ia sudah mempersiapkan jawaban, tapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokannya. Setelah beberapa detik, ia menghembuskan napas dan berkata dengan tulus, “Saya butuh penghasilan tambahan, Pak. Dan saya merasa bekerja di sini akan memberikan saya kesempatan untuk berkembang.”

Damar mengamati Mentari sejenak, matanya memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi di wajahnya. “Dari penampilan kamu saya lihat sesuai, kamu cantik. Tapi, kamu tahu kan, pekerjaan di sini seperti apa? Tadi kamu lihat kan di luar seberapa ramai dan hektiknya? Kamu siap? Ini bisa memengaruhi waktu kuliahmu,” tanya Damar, masih sambil melihatnya dengan seksama.

Mentari merasakan sedikit ketegangan dalam suasana itu, namun ia mengumpulkan keberanian untuk menjawab, “Saya siap, Pak. Lagi pula, saya sudah masuk libur semester selama satu bulan, jadi saya bisa bekerja penuh.”

Damar terdiam sejenak, merenungkan jawabannya. Lalu ia mengangguk dan memberikan senyum tipis. “Kalau gitu, kamu bisa mulai training mulai nanti sore. Kamu juga nanti akan diberi seragam seperti karyawan lainnya.”

Lihat selengkapnya