Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #15

Batas Waktu

Mentari berjalan sendirian di lorong kampus yang mulai sepi. Udara pagi yang seharusnya cerah terasa lebih berat di hatinya. Langkah kakinya terdengar bergema di lorong yang sepi, seolah memantulkan keheningan yang mengiringinya. Tangannya memegang tas jinjing berwarna hitam yang terlihat sedikit berat. Dalam tas itu, tersimpan map cokelat berisi dokumen-dokumen penting yang tak terhitung jumlahnya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih lambat, berat, seperti ada beban tak tampak yang menariknya mundur. Dunia di sekelilingnya seakan turut menahan laju langkahnya, meski langit tampak biru dan sinar matahari merembes lembut di antara pepohonan kampus. Ia bisa merasakan pandangan dari beberapa mahasiswa yang sedang berjalan di sekitarnya, tapi ia mengabaikan itu, berusaha mengusir kecemasan yang menyerangnya setiap kali ada yang melirik ke arahnya.

Pakaian yang ia kenakan mulai tampak longgar, bergantung lebih longgar dari biasanya, menyembunyikan perutnya yang semakin membesar. Ia tahu betul bahwa orang-orang mulai memperhatikannya, dan itu membuatnya merasa semakin cemas. Ia menghela napas pelan, berusaha menenangkan dirinya, namun rasa cemas itu tetap membebani langkahnya. Kaki-kakinya melangkah dengan pelan, seolah segenap kekuatan yang dimiliki tubuhnya enggan bergerak cepat. Ia tahu bahwa dunia tidak akan berhenti hanya karena masalah pribadinya, tetapi bagaimana caranya untuk tetap kuat dalam menjalani semuanya?

Tiba-tiba, suara seseorang memanggilnya. "Tari! Mentari!"

Suara itu cukup keras, memecah keheningan yang telah menemani langkahnya. Mentari menoleh ke arah suara itu dan melihat Putri yang tengah berjalan cepat menuju arahnya. Wajah Putri tampak cemas, sedikit berkerut, dan begitu ia sampai di samping Mentari, mereka mulai berjalan bersama.

"Lo kemana aja sih? Libur semester, jarang ada kabar," tanya Putri, nadanya penuh kekecewaan. Putri tidak menyembunyikan rasa herannya. Tiga bulan terakhir mereka jarang bertemu, meskipun sudah sering kali mengatur waktu untuk berbicara, tidak ada satupun yang berhasil. Kini Putri merasa kecewa karena Mentari tiba-tiba menghilang begitu saja.

Mentari tersenyum tipis, namun tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Kan lo tau, gue sibuk kerja, Put."

Jawaban itu terkesan datar, bahkan sedikit menghindar. Mentari bisa merasakan betapa beratnya menyembunyikan perasaan yang ia pendam, namun ia tahu bahwa Putri tidak akan mengerti. Setiap langkah yang ia ambil, rasanya semakin sulit untuk berbicara tentang apa yang sedang ia alami.

Putri meliriknya tajam, sepertinya tidak puas dengan jawaban itu. "Iya sih, tapi bisa kali ngabarin," jawab Putri, suaranya sedikit menyindir, mengungkapkan rasa kecewa pada sikap Mentari yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

Mentari hanya bisa berjalan, memaksakan senyum kecil di wajahnya. Keheningan kembali datang menyelubungi mereka. Dalam pikirannya, ada banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan, tapi ia tidak bisa berbagi itu sekarang juga. Hingga akhirnya, Putri membuka suara lagi, kali ini nada suaranya terdengar lebih khawatir.

"Eh iya, udah ada kabar buat ketemu orang selanjutnya belum?" tanya Putri, matanya berbinar penuh harap. Putri berharap ini bisa menjadi awal perubahan, awal untuk membuat Mentari kembali terbuka, untuk bisa berbicara tentang apa yang terjadi.

"Belum, Put, sabar," jawab Mentari, suaranya lebih tenang, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. Suaranya terdengar seolah ia sudah terbiasa dengan ketidakpastian, dan hal itu cukup membuat Putri merasa khawatir.

Putri mendengus pelan, masih tidak puas dengan jawaban itu. "Kok lo santai banget sih?" tanya Putri, tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya yang semakin mendalam.

Mentari berhenti sejenak, menatap Putri dengan tatapan serius, seakan-akan ia ingin berbicara lebih banyak, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya. "Tenang aja. Nanti kalo udah siap, pasti gue kabarin lo," katanya pelan, berusaha menenangkan sahabatnya.

"Tapi keliatannya lo udah mulai ga niat sama rencana ini deh," Putri menyela, semakin cemas. Putri merasa bahwa Mentari sudah kehilangan semangatnya. Ada rasa khawatir yang datang dari dalam dirinya, bahwa sahabatnya sedang terluka, namun tidak bisa atau tidak mau berbicara tentangnya.

Mentari menghela napas panjang, merasa sedikit tertekan oleh percakapan ini. "Bukan gitu, gue cuma ga mau gegabah. Pokoknya kalau udah siap, kita gerak lagi," jawabnya, dengan nada yang semakin berat. Namun, di dalam hati Mentari, ia tahu bahwa ia sedang berjuang dengan rencana yang semakin sulit untuk diteruskan.

Mereka kembali berjalan bersama, tetapi kali ini, suasana di antara mereka terasa lebih berat. Putri tampak semakin tidak puas, dan Mentari tak bisa membohongi dirinya sendiri: rencananya memang semakin sulit untuk diteruskan. Berat, penuh keraguan, dan jalan yang semakin kabur. Mentari merasakan ada kekosongan yang semakin dalam, yang mulai menggerogoti dirinya.

Siang itu, Mentari sedang sibuk melayani pelanggan di restoran tempatnya bekerja.

Suasana restoran tidak seramai biasanya, karena jam makan siang sudah lewat. Walaupun tubuhnya mulai lelah, ia berusaha tersenyum dan melayani setiap tamu dengan ramah. Tugasnya sebagai kasir telah menjadi rutinitas yang harus dijalaninya dengan penuh tanggung jawab. Meskipun hatinya dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya di depan orang lain. Ada banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan, dan kondisi perutnya yang semakin membesar adalah salah satunya. Ia harus bertahan, untuk dirinya dan untuk mereka yang bergantung padanya.

Lihat selengkapnya