Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #16

Penyangkalan

Pintu lift terbuka dengan bunyi yang familiar, sebuah suara yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih tenang, seolah memberikan sedikit penghiburan di tengah gejolak perasaan yang terus mengguncang. Mentari dan Putri keluar dari dalam lift, melewati beberapa meja kerja yang mulai terlihat sepi. Suasana gedung kantor itu terasa lebih tenang, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa terdengar pada jam kerja yang lebih sibuk. Meski begitu, ada ketegangan yang mengalir di udara, seolah setiap sudut ruangan menunggu sesuatu yang tidak diketahui. Langkah mereka berdua terasa lebih berat, setiap langkah seperti menambah beban pada tubuh Mentari, yang semakin merasa tidak kuat menanggung semua yang terjadi.

Mereka berdua melangkah menyusuri lorong panjang yang sepi, menuju ruangan yang sudah mereka tuju. Di dinding-dinding lorong itu, tampak beberapa potret dan penghargaan yang terpasang dengan rapi. Semua itu seolah tidak ada artinya bagi Mentari saat itu. Begitu sampai di depan pintu, Mentari berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mengetuk dengan suara yang cukup keras agar terdengar jelas di dalam ruangan.

"Food delivery!" ujarnya dengan nada tegas, meskipun ada kecemasan yang tersirat jelas di suaranya. Suara itu tak hanya bergema di ruangan itu, tetapi juga dalam hati Mentari, seakan memberikan tanda bahwa tidak ada jalan kembali, hanya ada satu langkah yang bisa diambil.

Tak lama setelah mengetuk, Mentari membuka pintu dan melangkah masuk, diikuti Putri yang berjalan di belakangnya. Ruangan itu sederhana, dengan desain yang terkesan minimalis namun terorganisir rapi. Dinding-dindingnya dipenuhi beberapa rak buku dan tumpukan berkas-berkas kerja yang mengingatkan pada rutinitas harian yang penuh tekanan. Di tengah ruangan, Pak Billy (40), pria bertubuh tegap dengan wajah yang selalu terlihat serius, sedang duduk di depan laptopnya, terfokus pada layar. Ketika melihat mereka masuk, Billy tidak langsung mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya, menunjukkan bahwa ia lebih tertarik pada pekerjaannya daripada siapa yang masuk.

"Simpen aja di meja," ujarnya sambil menunjuk ke meja di sebelah tempat ia duduk tanpa menoleh sedikit pun.

Mentari dan Putri saling pandang sejenak, lalu dengan hati-hati mereka meletakkan makanan yang mereka bawa di atas meja seperti yang diminta, meskipun suasana di dalam ruangan itu terasa semakin menekan. Mereka berdiri tegak, menunggu perhatian Billy, yang akhirnya menoleh setelah beberapa detik, matanya mendarat pada mereka berdua. Billy mengeluarkan dompetnya dan mulai mengeluarkan uang dengan gerakan yang lambat, seolah tidak terburu-buru.

"Udah kan? Apa lagi? Oh, nunggu tips?" tanyanya dengan nada sedikit sinis, namun terkesan santai. Namun, ada sesuatu di balik kata-katanya yang tidak bisa Mentari abaikan, sebuah sikap meremehkan yang kembali membuatnya merasa lebih rendah dari apa yang ia seharusnya dapatkan.

Mentari menghela napas dalam-dalam. Ia sudah menyiapkan diri untuk apa yang akan terjadi selanjutnya, namun tetap merasa gugup. "Gue pengen ngobrol sama lo. Lo inget gue kan?" tanyanya, berusaha terdengar tenang meskipun suaranya mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Billy terkejut. Wajahnya sempat menunjukkan ekspresi bingung sebelum akhirnya ia mengingat siapa yang berdiri di depannya. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk, menyadari bahwa ini bukanlah percakapan biasa.

"Lo, jualannya Kevin kan?" ujar Billy, dan sepertinya ia mulai menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari yang ia kira.

Putri yang berdiri di samping Mentari langsung menegur dengan keras. "Dijaga ya omongannya!!" suara Putri keras, penuh amarah. Ia tidak suka cara Billy berbicara, dan ia tidak akan tinggal diam ketika sahabatnya diperlakukan demikian.

Namun, Mentari dengan tenang menahan Putri agar tidak terlalu melibatkan diri. "Iya, gue jualannya Kevin. Bagus kalau lo inget," jawab Mentari dengan nada yang lebih kalem, berusaha tetap menjaga ketenangannya meskipun hatinya bergejolak. Setiap kata yang keluar dari bibir Billy terasa seperti belati yang semakin menambah luka di dalam hatinya.

Billy berdiri dan berjalan mendekat. Mentari merasa tidak nyaman ketika Billy mulai bergerak mendekat. Tanpa peringatan, tangannya menyentuh dagu Mentari dengan gerakan yang cepat, membuatnya terkejut. Mentari mencoba menghindari sentuhan itu, namun Billy tetap mendekatkan wajahnya. Mentari bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya, dan itu bukan karena udara di ruangan itu.

"Ada apa cantik? Lo pengen main lagi sama gue?" tanya Billy dengan nada menggoda, seakan-akan semuanya hanya sebuah permainan baginya. Namun, Mentari merasa ada sesuatu yang sangat salah dalam dirinya.

Mentari merasa ada yang aneh dengan perasaan yang menghantui dirinya. Ia mencoba menenangkan diri, mengingatkan dirinya bahwa ia tidak boleh jatuh dalam permainan ini lagi. "Gue hamil. Gue pengen minta tanggung jawab," jawabnya dengan tegas, meskipun ada ketegangan yang terasa di udara, membuat kata-katanya seperti tertahan di tenggorokan.

Billy menatapnya dengan tatapan heran, tidak langsung bereaksi. Tangan Billy berpindah dari dagu Mentari ke arah perutnya, yang semakin membesar. Dengan wajah tengil, ia memperlihatkan ekspresi seperti sedang menganggap ini hal yang biasa, sesuatu yang bisa dia hadapi tanpa rasa takut.

“Hamil? Kok minta tanggung jawab ke gue?” tanya Billy sambil tertawa kecil, seolah-olah ia sedang menikmati kekalahan orang lain. Mentari merasa tubuhnya semakin lemah. Kata-kata Billy semakin membuatnya merasa kecil.

Lihat selengkapnya