Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #17

Manusia Tanpa Rasa

Di lobby apartemen yang sepi itu, Mentari dan Putri melangkah masuk dengan hati yang berat, mengumpulkan segenap keberanian untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Begitu mereka memasuki ruang lobi, aroma karpet baru yang lembut menyapa indera mereka, tercampur dengan udara sejuk dari pendingin ruangan yang menambah kesan kesunyian yang menekan. Ruangan itu tampak bersih dan rapi, meskipun sepi, seakan mencerminkan suasana hati Mentari yang sedang kacau. Langkah mereka terasa semakin berat, seperti ada beban yang mengikat di dada mereka, tak peduli seberapa cepat mereka melangkah.

Di sofa yang terletak tidak jauh dari pintu masuk, Kevin sudah menunggu. Matanya yang tajam langsung tertuju pada mereka berdua begitu mereka masuk, namun pandangannya lebih lama tertuju pada Putri. Keheningan yang terjadi sejenak menambah ketegangan di udara, dan mentari bisa merasakan perubahan sikap Kevin. Ia tahu betul bahwa Kevin tidak senang dengan kedatangan Putri, meskipun ia tidak mengatakan apapun. Sikap dingin dan tatapan tajam itu cukup menguatkan rasa cemas yang sudah menggerogoti hati Mentari.

Kevin berdiri begitu melihat mereka, gerakannya terkesan terburu-buru namun penuh dengan rasa kesal yang tidak bisa ia sembunyikan. Wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan, malah tampak murung dan penuh dengan amarah yang sudah menunggu untuk dikeluarkan. Mentari merasa seolah ada beban yang lebih berat yang semakin menekan dadanya, membebani setiap langkah yang ia ambil. Ia merasa langkahnya semakin terjatuh, tapi ia harus berhadapan dengan Kevin sekarang, demi dirinya dan demi masa depannya.

"Ngapain lo bawa dia segala?" tanya Kevin dengan nada datar yang dipenuhi rasa curiga, suaranya sedikit terdengar kasar meski ia berusaha menahan amarahnya.

Mentari tetap menatap Kevin dengan mata yang sudah dipenuhi kecemasan. Ia merasa kebingungannya semakin meningkat. “Dia udah tau semua. Putri bisa jaga rahasia,” jawabnya, mencoba memberikan penjelasan yang singkat namun tegas, meskipun rasa takut masih menggelayuti suaranya.

Kevin mengerutkan keningnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. “Yaudah gapenting,” ujarnya sambil melambaikan tangan, tidak merasa perlu untuk mempermasalahkan Putri lebih lanjut. “Sekarang gue mau denger dari lo kenapa sekarang lo kabur-kaburan? Inget utang lo masih banyak, kalo lo ga nurutin apa yang gue bilang, gimana lo bisa bayar?” kata Kevin, suaranya semakin tinggi, semakin penuh tekanan.

Mentari menghela napas panjang, menyadari bahwa ia tidak punya banyak pilihan. "Gue pasti bayar kok, kasih gue waktu," jawabnya, meskipun suara yang keluar dari bibirnya terdengar lebih lemah daripada yang ia harapkan. Ia tahu bahwa semakin lama ia menghadapinya, semakin ia terjerat dalam kebohongan dan ketidakpastian.

Kevin menatapnya dengan tatapan yang tidak terlalu peduli. “Yaudah sekarang lo balik lagi kerja, jangan banyak alesan,” katanya dengan suara yang menggelegar, seperti biasa, suaranya terasa seperti perintah yang harus ditaati tanpa bisa dibantah. Semua yang diucapkannya selalu terdengar seperti keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat.

Putri yang berdiri di samping Mentari merasa tidak tega mendengar kata-kata Kevin. “Tapi Vin...” Putri ingin berbicara, mencoba untuk memberi sedikit ruang bagi Mentari agar bisa keluar dari tekanan ini, tapi Kevin sudah mendahuluinya.

Lihat selengkapnya