Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #18

Harapan yang Tak Utuh

Mentari duduk terdiam di kursi penumpang, kedua tangan menutupi wajahnya, seolah ingin menghilangkan semua kebingungannya yang semakin membebani. Wajahnya yang pucat tampak semakin lesu seiring berjalannya waktu. Dalam keheningan mobil yang melaju di malam yang sepi, hanya suara mesin yang terdengar menghentak-hentak di telinga mereka. Mobil bergerak pelan, menyusuri jalanan yang mulai sepi, dan Mentari merasa seolah dunia luar semakin menjauh, meninggalkan dia dalam kesendirian yang semakin mendalam. Pikirannya berputar, mencari jalan keluar dari kekusutan yang begitu membebani hatinya.

Putri yang duduk di kursi pengemudi menoleh ke arah Mentari, mata gelisah mencuri pandang, namun tetap fokus pada jalanan yang semakin gelap. Meskipun demikian, rasa cemasnya jelas terlihat di wajahnya. Ia merasa bingung, tak tahu lagi harus berkata apa. Keadaan semakin sulit, dan setiap pilihan yang ada seperti berujung pada kebuntuan. Ia tahu betul bahwa Mentari merasa terpojok, dan tak ada jalan yang mudah untuk keluar dari situasi ini.

"Tega banget sih dia, masa cuma ngasih waktu lima hari," ucap Putri, suara hatinya terasa berat. Ia mencoba menyelami perasaan Mentari, meskipun ia tahu betapa sulitnya situasi yang sedang dihadapi teman baiknya itu. Kata-kata Kevin, dengan segala ancaman dan tekanan, seperti beban yang semakin menghancurkan harapan Mentari, dan Putri tidak tahu bagaimana lagi bisa membantu.

Mentari hanya mengangguk lemah, wajahnya tertunduk dalam, kehilangan semangat. "Gue harus cari uang kemana lagi, Put?" jawabnya dengan suara pelan, penuh keputusasaan. Ia merasa dunia di sekitarnya runtuh, dan setiap langkah terasa semakin berat. Kegagalan terasa begitu dekat, dan jalan yang ia pilih sebelumnya terasa semakin sempit.

Putri menggigit bibirnya, berusaha berpikir cepat, mencoba mencari solusi. “Kita gadein mobil gue, Tar," katanya dengan nada yang lebih optimis, meskipun dia tahu betul bahwa solusi ini hanyalah langkah sementara yang belum tentu menyelesaikan semua masalah mereka. Ia tahu ini bukanlah jawaban yang sempurna, tetapi setidaknya itu bisa memberi mereka sedikit waktu untuk bernafas.

Mentari mengangkat kepalanya, menatap Putri dengan pandangan kosong. "Solusi lo masih tetap sama aja, ya?" tanyanya dengan suara yang penuh kelelahan. Ia merasa seolah-olah terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berujung. Apa pun yang ia lakukan, masalah itu tidak pernah selesai. Uangnya tidak cukup, dan Kevin terus menekan, menyisakan rasa tidak berdaya yang semakin dalam.

Putri terdiam sejenak, merasakan tensi yang semakin meningkat di dalam mobil. "Terus lo mau gimana? Ga ada cara lain," jawabnya, sedikit kecewa dengan perasaan Mentari yang semakin tenggelam. Putri merasa frustasi melihat sahabatnya begitu terhimpit oleh beban yang tak pernah ia pilih. Namun, ia juga tahu bahwa Mentari tidak bisa menyerah begitu saja.

Mentari menoleh ke arah Putri yang fokus menyetir, sementara pikirannya berputar-putar, tak menemukan jalan keluar. "Kalo lo gadein mobil lo, terus gue pake buat bayar utang, masalah gue sama Kevin mungkin beres. Tapi setelah itu apa? Dari mana gue cari duit buat balikin mobil lo yang digadein? Terus, darimana duit buat bayar biaya rumah sakit Bapa? Anak ini juga udah mau lahir, dari mana biayanya? Emang harusnya dari awal gue gugurin aja kandungan ini," ucapnya dengan suara penuh keputusasaan. Kata-katanya mengalir begitu saja, seolah tak bisa lagi ia tahan. Mentari merasa seolah-olah ia telah memilih jalan yang salah, dan sekarang segala sesuatunya mulai runtuh di hadapannya.

Putri menatap jalan dengan mata yang mulai kabur, menyadari kebenaran dalam setiap kata yang terlontar dari mulut Mentari. Setiap kalimat yang keluar seolah menambah berat beban mereka berdua. Waktu mereka semakin terbatas, dan harapan mereka semakin menipis. Meski Putri berusaha menenangkan diri, perasaan cemas itu semakin sulit untuk disembunyikan. Keadaan ini tidak hanya membuat Mentari merasa terpuruk, tetapi juga membuat Putri merasa tak berdaya.

Tapi Putri tidak menyerah. Ia menggenggam setir dengan lebih kuat, matanya memancarkan keteguhan. "Jadi lo nyerah gitu aja? Kita masih punya dua target lagi. Kita cari mereka besok. Itu satu-satunya jalan," katanya dengan suara yang lebih tegas, meskipun dalam hatinya, ia pun merasa ragu. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti usaha terakhir untuk membuat Mentari kembali berdiri tegak, meskipun semuanya terasa tidak pasti.

Lihat selengkapnya