Jika Mentari Tak Kembali

Ananda Galih Katresna
Chapter #19

Hari yang Gelap

Mentari merasakan udara restoran yang hangat, aroma makanan yang menggugah selera, dan suara percakapan yang ramai di sekitar meja. Ia sedang berdiri di belakang meja kas, mencatat beberapa pesanan dan menyiapkan pesanan untuk pelanggan lain. Sudah beberapa hari ia bekerja di sini, dan meskipun beban pikirannya tak pernah benar-benar hilang, setidaknya bekerja di restoran ini memberi sedikit rasa normal dalam hidupnya yang kini terasa penuh kekacauan. Meskipun ia masih berusaha menyembunyikan rasa cemas dan ketakutannya, ada sesuatu yang memudarkan kesedihannya, aktifitas ini, meski sederhana, memberinya sedikit pelarian.

Sambil menyusun piring-piring, ia mendengar suara tawa dari meja sebelah. Namun, tawa itu tiba-tiba terhenti saat pintu restoran terbuka dengan keras. Suara pintu yang terbuka itu menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian hampir semua orang di restoran, termasuk Mentari. Seorang pria masuk dengan wajah penuh kemarahan. Pakaian yang sedikit acak-acakan menambah kesan bahwa ia datang terburu-buru. Pandangannya langsung menyapu ruangan, hingga ia menemukan pasangan yang tengah duduk santai di sudut restoran. Seorang wanita muda sedang makan, duduk berhadapan dengan seorang pria yang tampaknya lebih muda darinya.

Mentari melihat pria itu berhenti sejenak di pintu, lalu langkahnya semakin cepat menuju meja pasangan tersebut. Sambil berteriak, suami itu berbicara dengan nada yang menggelegar, mengisi ruangan dengan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Wajah pria itu merah, napasnya tersengal-sengal seakan tidak bisa menahan amarah yang sudah memuncak.

“Jadi ini yang lo lakuin sekarang, huh? Makan sama cowo lain?! Gua suami lo setan!” teriaknya dengan marah, suaranya bergetar karena kemarahan yang memuncak.

Wanita itu terkejut, namun segera membalas dengan suara dingin, penuh ketajaman. "Lo pikir gue mau terus hidup begini? Setiap hari kerjaan lo cuma di rumah, nggak ada kerjaan, nongkrong sama temen-temen, main game. Masa depan gue mau lo bawa ke mana?" ujarnya, kata-katanya tajam, wajahnya dipenuhi rasa frustrasi yang mendalam. Ia tampak sudah tidak bisa menahan semuanya lagi, seperti ada gunung masalah yang terlalu lama ditahan.

Pria itu membalas dengan lebih keras, "Gue nggak kerja? Gue cari kerja setiap hari, tapi lo malah pilih makan sama cowo lain?!" Kemarahannya semakin memuncak, dan seketika itu, meja tempat mereka duduk bergoyang. Ketegangan di antara pasangan itu semakin membara, dan keduanya mulai saling menuduh satu sama lain. Saling melontarkan kata-kata menyakitkan yang seolah tak peduli dengan siapa pun yang ada di sekitar mereka.

"Kalo lo kerja, mana hasilnya? Mana?" wanita itu mengejeknya dengan tatapan sinis. "Coba bilang ke semua orang siapa yang bayar kontrakan itu? Siapa yang bayar listriknya? Gue kan?" lanjutnya, suaranya penuh dengan ironi. "Bahkan kerjaan rumah juga semua gue yang kerjain. Kontribusi lo di hubungan ini apa?" ia menyindir suaminya dengan tajam, menambah api dalam kemarahan yang semakin membara.

Kedua pihak tidak mau mengalah. Suami itu semakin marah, sementara istri tidak kalah keras, menyudutkan suaminya dengan kata-kata yang menyakitkan. Atmosfer restoran yang semula hangat berubah menjadi tegang dan kacau. Pelanggan yang ada mulai menoleh, suasana menjadi canggung dan membuat orang-orang saling berbisik. Beberapa meja di sekitar mereka menjadi diam, hanya bisa menyaksikan drama yang sedang berlangsung. Suami itu tidak bisa menahan lagi emosinya apalagi ditambah dengan perasaan dipermalukan di tempat umum seperti itu.

Mentari yang sedang sibuk di belakang meja, merasa tergerak. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah menuju meja pasangan tersebut, berharap bisa menenangkan situasi yang semakin memanas. "Tolong, jangan di sini, ayo tenang. Kita bisa bicara baik-baik," ucapnya dengan suara lembut, mencoba menengahi. Ia tidak ingin melihat lebih banyak ketegangan yang bisa berujung pada sesuatu yang lebih buruk.

Lihat selengkapnya