Damar mengendarai mobil dengan tangan yang sedikit gemetar, melaju cepat di jalanan sepi malam itu. Di kursi penumpang, Mentari terkulai lemah, tubuhnya yang pucat tampak tak bergerak. Hati Damar dipenuhi kecemasan yang tak tertahankan, pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita itu. Setiap detik terasa begitu berat, dan ia tahu bahwa waktu tidak bisa ditunda lagi. Kegalauan menyelimuti dirinya, tetapi ia tahu ia harus tetap fokus, karena Mentari, dalam kondisi lemah seperti ini, membutuhkan perhatian dan perlindungan.
Setiap detik terasa panjang, dan meskipun malam semakin sunyi, jalanan yang sepi hanya mengingatkan Damar akan keputusasaan yang ia rasakan. Tidak ada kata-kata yang bisa meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Ia hanya bisa berdoa, berharap bahwa Mentari akan pulih segera. Setiap detik yang berlalu semakin terasa seperti beban di pundaknya.
Mobil berhenti dengan cepat di depan pintu rumah sakit. Damar segera keluar dari mobil, berlari ke sisi Mentari dan membuka pintu belakang dengan terburu-buru. Tanpa berpikir panjang, ia menggendong tubuh Mentari dengan hati-hati. Keringat menetes di dahinya, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya adalah memastikan Mentari mendapat pertolongan segera. Pikirannya bergejolak, namun ia mencoba fokus hanya pada satu hal—menjaga Mentari tetap aman.
Dengan langkah cepat, Damar berjalan menuju ruang UGD, mengabaikan pandangan orang-orang yang terkejut melihat kehadirannya. Begitu tiba di ruang UGD, perawat-perawat yang ada di sana langsung bergerak sigap, membawakan kasur roda untuk Mentari. Damar dengan cepat meletakkan Mentari di kasur tersebut, dan para perawat segera mendorongnya menuju ruang perawatan.
Damar berdiri di luar ruang UGD, merasa cemas dan tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menunggu, mengalihkan pandangan ke pintu yang tertutup rapat, berharap ada kabar baik segera datang. Jam-jam berlalu begitu lama, dan setiap detik terasa seperti berjam-jam. Damar berjalan mondar-mandir di ruang tunggu, sesekali menatap layar ponselnya yang sunyi, tidak ada pesan, tidak ada berita. Hanya kegelisahan yang memenuhi ruang hatinya. Setiap detik semakin terasa memanjakan kecemasan yang semakin menumpuk.
Di dalam kepalanya, bayangan tentang Mentari yang semakin lemah terus berputar. Ia merasa seolah ia terjebak dalam ruang waktu yang terbatas, dengan harapan yang semakin tipis. Namun, ia terus berusaha menenangkan dirinya, berharap kondisi Mentari akan membaik. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.
Akhirnya, setelah beberapa waktu yang terasa seperti sebuah abad, pintu ruang UGD terbuka perlahan. Seorang perawat keluar, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang. Melihat perawat itu, Damar segera mendekat dengan langkah cepat. Ia merasakan harapan yang kembali muncul, meskipun rasa cemasnya masih terus menyelimuti hatinya.
"Bu Mentari sudah siuman," kata perawat itu dengan nada lembut, seakan ingin memberikan sedikit ketenangan pada Damar yang sudah penuh kekhawatiran.
Damar tidak membuang waktu lagi. Ia langsung bergegas masuk ke ruang perawatan, melangkah cepat menuju tempat Mentari terbaring. Mentari masih terlihat lemas, tubuhnya terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus terpasang di lengan. Matanya yang sempat terpejam kini perlahan terbuka, meskipun ia masih tampak sangat lelah. Wajahnya yang pucat membuat Damar merasa semakin khawatir, tetapi melihatnya membuka mata sedikit membuat hatinya sedikit lega.
"Kamu harus banyak istirahat," kata Damar dengan lembut, duduk di sisi ranjang dan menatap wajah Mentari yang kini menatapnya dengan mata setengah terbuka.
Mentari mencoba tersenyum lemah, meskipun senyum itu tampak sangat dipaksakan. "Aku gapapa, Pak," jawabnya dengan suara yang lemah, berusaha menenangkan Damar meskipun ia tahu bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Ia merasa terjebak dalam tubuh yang semakin lelah, namun ia berusaha menunjukkan bahwa ia masih bisa bertahan.