Mentari baru saja keluar dari ruang rumah sakit, dan meskipun tubuhnya masih merasa lemah, ada sedikit rasa lega yang muncul. Setelah beberapa hari dirawat, kini ia kembali ke kostnya, tempat yang selalu memberikan rasa aman meskipun segala masalah hidup terasa berat. Putri mengantarnya dengan hati-hati, memastikan ia baik-baik saja sepanjang perjalanan pulang. Tidak ada yang lebih penting saat ini selain memastikan Mentari kembali pulih. Di sepanjang perjalanan, Putri tak bisa menahan rasa khawatirnya. Setiap kali ia melirik ke arah Mentari, ia melihat tubuh sahabatnya yang terlihat lebih rapuh dari biasanya. Namun, ia tahu, meskipun kondisi fisiknya lemah, semangat Mentari tetap menyala.
Setelah menempuh perjalanan singkat, mereka akhirnya tiba di gerbang kost. Putri menuntun Mentari dengan lembut, matanya tetap terjaga pada kondisi teman baiknya itu. Namun, saat mereka hampir sampai di pintu masuk, suara Joko, penjaga kost yang sudah cukup lama mengenal mereka, terdengar menyapa mereka.
"Neng Tari, kemana aja? Udah lama saya nggak lihat," sapa Joko dengan nada ramah sambil melipat tangannya di depan tubuhnya, tersenyum hangat seperti biasa.
Mentari tersenyum sedikit, walaupun senyumnya tidak sepenuhnya ceria. "Nginep di rumah temen saya, Pak," jawabnya dengan suara yang lembut, mencoba mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang mungkin bisa menambah beban pikirannya. Ia tak ingin terlalu banyak orang yang mengetahui betapa beratnya yang ia rasakan.
Joko mengangguk sambil tersenyum, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang sedikit berbeda. Seperti ada pertanyaan yang tak terucapkan, namun ia tidak melanjutkan obrolan lebih jauh. "Oh, gitu ya, Neng. Semoga sehat-sehat terus," katanya dengan nada yang tidak begitu terdengar normal, meskipun tetap tersenyum.
Mentari dan Putri saling berpandangan sejenak, lalu melanjutkan langkah mereka menuju kamar Mentari. Putri tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang sikap Joko yang agak aneh, tetapi dia memilih untuk tidak membicarakannya sekarang. Ada hal yang lebih penting yang harus dibicarakan, rencana mereka. Begitu mereka sampai di kamar, Putri membuka pintu dan membiarkan Mentari masuk terlebih dahulu. Mentari segera berjalan menuju ranjangnya dan duduk dengan hati-hati, merasakan tubuhnya yang masih lemas. Ia berbaring setengah, membiarkan punggungnya bersandar di bantal. Di sisi lain, Putri duduk di kursi meja rias yang terletak di sudut kamar, menatap Mentari dengan penuh perhatian.
"Gimana sekarang? Lo udah mendingan?" tanya Putri, memecah keheningan.
Mentari mengangguk perlahan, meskipun tubuhnya masih terasa berat. "Iya, lebih baik. Cuma masih lemes aja," jawabnya sambil menatap ke langit-langit kamar. Wajahnya terlihat penuh kebingungan, seolah pikirannya sedang berperang. Rasa lelah fisik yang ia rasakan tak bisa menutupi kegelisahan batinnya. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung.