Pagi datang dengan cahaya matahari yang masih malu-malu menyinari halaman kampus. Mentari berjalan pelan, tanpa arah yang jelas, seperti terbebani oleh sesuatu yang sangat berat. Langkahnya terasa begitu lambat, seolah dunia di sekitarnya berjalan lebih cepat, sementara dia tetap tertinggal dalam kegelisahan yang mencekam. Suara langkah kaki mahasiswa yang berlarian untuk menuju kelas, dan hiruk-pikuk aktivitas pagi lainnya, tidak lagi menarik perhatiannya. Mereka semua seperti berada di dunia mereka sendiri, jauh dari perasaan kosong yang kini menguasai hatinya.
Hatinya terasa seperti diombang-ambingkan oleh gelombang kecemasan yang tak bisa ia kendalikan. Pikirannya hanya berputar di sekitar ayahnya yang sedang berjuang hidup, terbaring lemah di ruang rumah sakit, sementara dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Begitu banyak hal yang membebaninya, seperti ada berat yang menghimpit dadanya, seakan tidak ada ruang untuk bernapas. Ia ingin melangkah maju, tetapi perasaan terjebak membuatnya sulit untuk bergerak. Setiap langkah terasa begitu berat, dan kepalanya dipenuhi dengan kekhawatiran yang semakin meluas.
Di antara keramaian, Mentari berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegak, namun tak ada yang bisa menepis perasaan bahwa hidupnya saat ini berada di ujung jurang ketidakpastian. Ia merasa asing di tengah keramaian, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkannya dari dunia di sekitarnya. Satu-satunya yang bisa ia pikirkan saat itu adalah ayahnya, dan betapa ia berharap bisa melakukan lebih banyak hal untuk menyelamatkannya. Ia merasa seolah-olah tak ada cara yang bisa mengubah keadaan, tak ada jalan keluar dari kegelapan yang mulai menyelimutinya.
Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya dengan tegas, menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar akrab, meskipun kali ini terdengar lebih mendesak. Itu adalah suara Putri.
"Ikut gue!" suara Putri terdengar penuh urgensi, membuat Mentari terkejut. Ia menoleh dengan bingung, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Sebelum sempat mengucapkan kata-kata lain, tangan Putri sudah menggenggam erat tangannya dan menariknya menjauh dari keramaian. Dengan langkah cepat, Putri menyeretnya menuju gedung kampus yang sepi. Mentari, yang merasa semakin cemas dan bingung, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Rasa khawatir yang terus-menerus menghantuinya kini semakin bertambah dengan kejadian yang tidak terduga ini.
"Ada apa sih, Put?" tanyanya dengan gelisah, mencoba mencari tahu mengapa sahabatnya itu begitu mendesaknya.
Putri tetap diam, hanya mempercepat langkahnya hingga akhirnya mereka tiba di atap gedung. Angin pagi yang sejuk berhembus pelan, dan suasana di sana terasa lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran yang menggelayuti. Hanya ada mereka berdua di sana, dan keheningan itu membawa perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Mentari duduk bersandar pada dinding pembatas, wajahnya tertunduk dalam diam, memendam perasaan yang semakin dalam. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terasa begitu berat untuk keluar dari bibirnya.
Putri berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tajam. “Lo kenapa sih? Kenapa lo nggak cerita, Tar? Di sini cuma ada kita. Gue udah nunggu lama banget, tapi lo terus ngehindar.”