Semenjak Candra sudah berkenalan dengan Martin, entah mengapa ia merasa sudah diberi approve untuk mendekati Sephia. Lagi pula, melihat respon dari Sephia yang membuat Candra tancap gas. Kini mereka berdua sering berangkat ke sekolah bersama, atau jika Candra tidak ada kegiatan lain, pulang sekolah pun bersama.
Tak terasa sudah lebih dari satu Minggu, Musa masih saja belum keluar dari persembunyiannya. Padahal berita kedekatan antara Sephia dan Candra sudah menyebar ke semua angkatan, harusnya sudah masuk pula ke dalam telinga Musa jika ia masih bersekolah disana.
"Makasih, Kak." Sephia turun dari motor Candra dan mengembalikan helm nya.
"Makasih mulu," ucap Candra merasa hubungannya tidak berkembang.
Mereka beriringan berjalan menuju kelas, dengan beberapa orang yang memperhatikan keduanya. Namun, tiba-tiba saja Sephia terlihat kaku saat melihat Musa yang berjalan dengan cepat dari ruangan guru menuju kelasnya. Saking cepat jalannya, sampai ia sepertinya tak ada waktu untuk menengok pada Sephia yang sedari tadi memperhatikannya.
"Liatin apa?" tanya Candra yang juga ikut menengok sesuai pandangan Sephia.
"Ada kucing lewat, lucu banget."
"Perasaan di sekolah kita gak pernah ada kucing deh," jawab Candra yang menyisir pandangannya mencari kucing.
"Tadi ada, Kak."
"Yaudah, kalo gitu gue naik ya." Candra beranjak naik ke lantai dua yang merupakan kelasnya angkatan dua belas.
"Iya, Kak. hati-hati."
"Iya, Phia." Candra mengusap kening Sephia dengan lembut sebelum beranjak.
Harusnya untuk kebanyakan kaum hawa jika diberikan physical touch seperti itu baper ya, tapi hati Sephia harus dipertanyakan mengapa ia tidak pernah sedikit pun menganggap Candra seperti pria, melainkan hanya sebatas senior baik. Mungkin akibat masa lalunya di sekolah lama yang membuat dirinya belum terbiasa bahwa sekarang ia di dekati oleh pria, jadi insting kebaperannya belum terbit.
Saat bel masuk sudah berbunyi, disitulah Sephia baru menyadari bahwa buku tugas kimia nya tertinggal. Joly yang mengetahui itu terlihat sudah pasrah tak ingin memberi saran apa-apa, karena Pak Emir sebagai guru kimia memanglah sangat kejam. Ia terkenal sebagai guru yang suka menghukum muridnya bukan dengan fisik seperti hormat pada tiang bendera, lari dilapangan atau membersihkan toilet. Namun, ia menghukum dengan menjatuhkan mental muridnya agar mereka jera dan tidak melakukan kesalahan kedua, contohnya hukuman terakhir yang ia berikan pada murid pria yang membolos kelasnya adalah dengan didandani seperti perempuan, lalu difoto. Dan fotonya ditempel di mading dengan ukiran pena 'Sipaling suka bolos, dia pikir keren?' Lalu siswa itu tidak berani lagi bolos pelajaran Pak Emir akibat menanggung malu selama bersekolah disana.
Cerita Joly sukses membuat Sephia ingin pura-pura sakit saja, atau pura-pura kebanjiran dan bilang buku-bukunya ikut hanyut. Tapi sepertinya iklim di bulan itu tidak memenuhi ekspektasinya, bahkan di berita tv sedang viral beberapa wilayah terkena kekeringan. Lalu bagaimana dengan nasibnya? detik itu ia merasa salah pilih sekolah untuk pindah.
"Apa gue pura-pura pingsan sekarang?" Sephia tampak panik.
"Aduh alasan klise itu, udah digunakan kiranya dua puluh kali oleh berbagai siswa dan gagal." Joly membentuk kedua tangannya seperti huruf X.
"Terus gue gimana?"
"Mungkin bakal ada toleransi sama anak baru," pikir Joly menyentuh dagunya.
"Kalo nggak? gimana kalo foto gue ditempel di mading dan Musa liat? bisa-bisa gue pindah sekolah lagi karena malu." Sephia menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Kok pikiran Lo malah ke Musa, Lo gak mikir kalo Kak Candra yang liat?"
"Iya itu juga."
"Lo belum ada rasa ya sama Kak Candra?"
"Bukan waktu yang tepat mikirin rasa, Joly! Gue gim_"
"Assalamualaikum semuanya!" salam pembuka Pak Emir menghentikan kalimat Sephia.