"Ini yang gapake bawang goreng, ini yang gapake ayam,"
"Makasih bang Jago!"
"Sama sama mbak Dira, tumbenan ke sini sama ayah, mbak Bulan kemana nih?"
"Ayah pengen ngajak aku aja bang, katanya kangen jalan berdua sama aku, Bulan juga lagi bantu ibu bikin klappertart jadi dia nitip dibungkus aja nanti."
"Go, kau ajak kita ngobrol kapan aku dan Dira makan mie ayam ini hah? Itu sudah banyak pelanggan yang menunggu, bergegaslah layani mereka, atau aku saja ini yang buatkan mie ayamnya?"
"Hahaha ampun boss, selamat menikmati, nanti kita sambung lagi."
Warung mie ayam bang Jago makin ramai saja setelah aku dan ayah datang, mungkin kita membawa keburuntungan untuk bang Jago? tentu saja tidak. Setiap malam warung mie ayam bang Jago memang selalu ramai selain rasa mie ayamnya yang lezat, bang Jago juga menghafal apa yang ada di setiap mangkok pesanan pelanggan. Seperti pesanan ayah yang tanpa bawang goreng dan pesananku tanpa ayam. Mungkin kalian bertanya kenapa pesananku tanpa ayam bukan? Meskipun namanya mie ayam, aku tidak menyukai ayamnya. Bukan karena ayamnya tidak lezat bukan, karena aku memang memiliki alergi dengan daging ayam. Entahlah setiap makan daging ayam aku langsung mual dan perutku tidak enak. Aneh sekali bukan? aku juga masih heran dengan diriku sendiri.
"Dira belum jawab pertanyaan ayah,"
"Yang mana ayahku sayang? Maaf yah, aku sudah lupa,"
"Ayah sudah tidak spesial untuk Dira. Betul tidak? ayah butuh penjelasan."
"Yaampun ayah, ayah nomer satu pokoknya, ga bakal tergeser dan ga mungkin bisa digeser posisinya sampai kapanpun, sampai aku sudah menikah memiliki anak, memiliki cucu, ayah tetap jadi lelaki nomer satu untuk Dira." Jawabku sambil mengaduk mie ayam agar semua komponennya tercampur merata.
"Bagaimana jika ayah tidak begitu?"