Candi Pengilon, Rahasia Yang Disembunyikan
Candi Pangilon terletak di ujung Desa Pahesan, di tepi hutan milik Perhutani. Konon katanya berumur ratusan tahun. Sebenarnya tidak ada bangunan candi di sana. Namun entah kenapa orang-orang menyebutnya demikian. Padahal, hanya sebuah sumber mata air yang dulunya bekas telaga yang asal-usulnya penuh misteri.
Anak-anak dilarang main di dekat Candi Pangilon. Selain tempatnya sepi juga karena berbatasan dengan hutan. Di sana masih banyak hewan liar. Bahkan ketika Bapak masih kecil, sering terlihat macan kumbang berkeliaran.
Saat itu aku berumur sebelas tahun. Aku bersama Sri dan Sundari berencana mencari akar alang-alang untuk tugas sekolah. Rumput itu banyak ditemui di dekat Candi Pangilon. Pak Tegar ̶ Wali Kelas kami ̶ minggu lalu memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk mengumpulkan jenis tanaman tertentu. Aku sekelompok dengan Sri dan Sundari mendapat tugas mengumpulkan alang-alang.
" Sri, apa ndak apa-apa cari alang-alangnya sampai sana?" tanyaku. Aku memang takut pergi ke ujung desa. Belum pernah main sejauh itu. Bapak pasti marah kalau mengetahui ini.
" Ndak apa-apa, asal jangan masuk wilayah candi. Bisa kena marah kita sama Mbah Min," jawab Sri. Dia berlari-lari kecil sehingga rambut ekor kudanya meliuk-liuk diterpa angin.
Mbah Minto adalah Juru Kunci Candi Pengilon. Usianya sudah tua. Beliau tinggal di dekat lokasi candi. Aku belum pernah bertemu dengannya.
"Aku sudah bawa plastik, nih. Pokoknya sebelum sore kita pulang, ya!" seru Sundari sambil membawa buntelan plastik untuk tempat alang-alang. Sundari bertubuh lebih besar dibanding kami. Dia selalu melindungiku dari gangguan anak lelaki yang suka iseng di kelas.
Kami berjalan menuju ujung desa menelusuri jalan kecil berkelok di tepi sawah. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami sampai di pinggir hutan Perhutani. Di depan mataku terhampar rumput alang-alang hampir setinggi anak-anak kelas tiga SD.
“ Ayo, ambil secukupnya terus lekas pulang mumpung belum sore,” ujarku sambil mencabut alang-alang, “ Keras banget ini,” keluhku.
’’ Aku bawa pisau,” ujar Sri sambil memotong alang-alang dengan lincahnya. Tak berapa lama plastik sudah penuh dengan alang-alang.
“ Bocah cilik, kalian ngapain di sini?’’
Sebuah suara mengagetkan membuatku terkesiap. Aku melihat Sri dan Sundari langsung lari kencang. Laki-laki tua itu memandangku dengan tajam. Kakiku gemetaran karena takut.
“ Ca-cari alang-alang, Mbah,” jawabku terbata sambil berusaha menggerakan kaki. Lalu, aku berlari kencang mengejar Sri dan Sundari yang sudah tak kelihatan sosoknya. Tubuhku terasa melayang ketika sekuat tenaga berlari. Sampai kurasakan kakiku menyandung sebuah batu. Bruk! Tubuhku jatuh terjerembab di atas tanah basah. Aku merasakan lututku perih. Sepertinya terbentur batu.