Pahesan adalah desa tertua di Kecamatan Glagah Anom, Kabupaten Pemalang. Menurut cerita para sesepuh, desa ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Meskipun tak ada yang mengetahui secara pasti kapan desa ini berdiri. Satu hal yang membedakan dengan desa lainnya adalah penduduknya menggunakan Bahasa Jawa yang lebih halus dan masih dipegangnya kepercayaan turun-temurun. Salah satu kepercayaan yang masih dilakukan adalah apabila ada anak kembar yang lahir maka harus dipisahkan, tidak diperbolehkan hidup dalam satu atap yang sama. Begitu juga saat kelahiranku dan Mas Barra.
Aku mendengar cerita bahwa saat kelahiranku dengan mas Barra, Ibu terpaksa menyerahkan saudara kembarku untuk dirawat oleh Bude Rahma. Sedangkan aku tetap bersama Ibu karena terlahir dengan berat badan di bawah rata-rata. Namun, meskipun Mas Barra dirawat Bude Rahma bukan berarti kasih sayang Ibu terputus, beliau tetap menyusui Mas Barra. Sampai sekarang pun aku dan saudaraku masih tetap bisa bermain dan sekolah di tempat yang sama.
Seringkali aku memperhatikan Ibu. Dalam diamnya, aku melihat kesedihan di matanya. Seperti hari ini ketika mas Barra ke rumah untuk mengerjakan PR Matematika bersamaku.
“ Bar, nginep sini saja ya,” pinta Ibu.
“ Izin Bude dulu, Bu,” jawab mas Barra,” Takut dicariin,” lanjutnya.
“ Ya, bilang dulu sama Budemu,” ujar Ibu sambil memasak di dapur.
Bau ayam goreng yang wangi menusuk-nusuk hidungku. Perutku mendadak keroncongan. Setelah hampir satu jam mengerjakan PR matematika akhirnya aku menyerah. Perut ini harus diisi.
“ Bu, ayamnya sudah matang belum?’’ tanyaku tak sabar.
Ibu menoleh lalu tersenyum, ” Sudah, Nduk. Nasinya yang belum ada. Ibu minta tolong. Nanti kamu ke toko Eyang Ti, minta beras dulu tiga kilo nanti bayarnya setelah Bapak pulang dari kota.”
Mendengar kata Eyang Ti entah mengapa hatiku terasa sedih. Kata Ibu, Eyang Gayatri Soenggono adalah Ibu dari Bapak yang artinya aku adalah cucu beliau. Namun, aku tak merasakan diperlakukan seperti layaknya seorang cucu. Di antara cucu-cucu Eyang Ti, hanya aku dan Mas Barra yang diperlakukan berbeda. Bukan hanya nama Soenggono yang tak ada di belakang nama kami tetapi juga apabila ada acara keluarga perlakuan itu kurasakan. Itulah mengapa setiap diminta Ibu ke sana, aku tak bersemangat.
“ Kenapa harus ke tokonya Eyang Ti, Bu?’ keluhku.
Ibu menghela napas, “ Kamu itu lho setiap kali diminta ke toko Eyang Ti selalu bertanya seperti itu.”
“ Iya, Bu. Lana jalan sekarang,” akhirnya aku menyerah juga.
Bila ibu sudah berkata demikian, aku tak tega. Bagaimanapun perlakuan Eyang Ti harus kuterima. Seperti nasehat ibu, tetaplah junjung tinggi tata kramamu kepada orang yang lebih tua meskipun mereka memperlakukanmu dengan tidak pantas karena disitulah nilaimu berada.
“ Mas, mau ikut nemenin, ndak?’’ tanyaku.
“ Aku nanti nyusul. PRnya sebentar lagi selesai. Nanggung,” jawab Mas Barra.
Akhirnya aku pergi sendiri. Rumah keluarga Soenggono terletak di jalan utama Desa Pahesan. Sepanjang hampir seratus meter adalah tanah milik keluarga itu. Rumahnya paling besar dan menonjol dibanding rumah-rumah lain di desa ini. Rumah itu berusia ratusan tahun. Ada pendopo besar di halaman depannya, mengingatkanku pada kantor kabupaten Pemalang Ada seperangkat gamelan tua yang setiap seminggu sekali digunakan untuk berlatih paguyuban kesenian desa.