“ Assalamu’alaikum, Eyang. Maaf mengganggu,” sapa Mas Barra dengan Bahasa Jawa halus.
Eyang Ti mengangkat wajahnya, “ Wa’alaikumsalam. Ada perlu apa, Bar?’’ tanya beliau sambal menyapu pandangan ke arah kami dari atas ke bawah.
’’ Saya diminta Ibu mengambil beras, nanti siang uangnya diantar. Bapak masih di kota. Tadi belum dikasih sama Yu Nah,” jawab Mas Barra tajam.
Aku terkesiap dengan nada ucapan Mas Barra. Tajam dan lantang. Waduh, perasaanku tidak enak. Apalagi ketika melirik ke arah Mbak Dayu. Sepupuku itu tampak senang.
Eyang Ti tersenyum sambal melipat koran yang tadi beliau baca kemudian meletakannya di meja, “ Apa Yu Nah belum menyampaikan pesan kepadamu?’’
’’ Sudah,” jawab Mas Barra singkat sambil memegang tanganku. Aku merasakan tangannya dingin.
’’ Kalau sudah kenapa ke sini lagi. Kembali saja siang nanti,’’ kata Eyang Ti sambil membetulkan letak kaca matanya lalu kembali mengambil koran di meja.
’’ Kami belum makan, Eyang. Beras di rumah kebetulan hari ini habis. Saya kan cucu Eyang, Bapak kan anak Eyang. Apakah itu belum cukup untuk membuat Eyang percaya kepada kami,” ujar Mas Barra.
Aku diam saja sambal menunduk. Berbeda dengan saudara kembarku. Aku melihatnya menatap Eyang Ti dengan tatapan lurus tanpa rasa takut.
’’ Si kembar,” Eyang Ti bergumam namun masih terdengar. Sambil menghela napas beliau berujar, ”Apa Diro tidak mengajarkan sopan santun?’’
Sudiro adalah nama Bapak kami. Anak kedua Eyang Ti. Bapak adalah adik dari Pakde Indrajo, Bapaknya Mbak Dayu.
Aku merasakan tangan Mas Barra mengepal. Buru-buru aku berkata, ” Bapak mengajarkan, Eyang.”
’’ Si Kembar. Padahal sudah dibesarkan di tempat terpisah tetapi masih tetap kemana-mana berdua. Ya, wajar saja anaknya Diro. Bapaknya suka membangkang. Anaknya ya nurunin.”
Wajah Mas Barra memerah. Dia semakin memegang erat tanganku, ” Memangnya kenapa kalau kami kembar?” suara Mas Barra meninggi.
Aku tertunduk ketakutan. Pasti Eyang Ti lebih marah lagi.
’’ Tanya Bapakmu. Sekarang pulang saja. Siang baru kembali kesini, ” perintah Eyang Ti.
Aku buru-buru menarik tangan mas Barra sebelum Eyang Ti lebih marah lagi. Awalnya Mas Barra bergeming, terpaksa aku cubit lengannya.
Sambil menatap Eyang Ti tajam, dia berkata kepadaku, ” Mari pulang, Lan. Aura rumah ini gelap.”
Aku yakin kalimat lirih Mas Barra kepadaku didengar oleh Eyang Ti dan Mbak Dayu. Aku melihat sekilas ketika membalikan badan menuju arah pulang. Wajah Eyang Ti sulit aku lukiskan dengan kata-kata. Tatapannya begitu tajam menusuk di balik kacamatanya. Sementara Mbak Dayu pura-pura tidak mendengar sambil tetap memijat bahu beliau.