Hari pentas lomba karawitan tinggal beberapa hari lagi. Kami sudah sangat kompak menciptakan harmoni indah antara alunan nada yang dihasilkan nayaga dan nyanyian yang dituturkan sinden. Aku melihat Pak Wiyoko sangat puas dengan hasil kerja keras kami selama hampir satu bulan ini.
’’ Sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras kalian. Hari ini Ibu Gayatri menyediakan aneka kue untuk kita. Sebelum latihan dimulai, ayo kita makan dulu,’’ ujar Pak Wiyoko sambil memperlihatkan meja yang sudah penuh terisi aneka jajanan.
Aku melihat kegembiraan meliputi teman-teman. Mata mereka berbinar-binar melihat aneka kue yang hanya bisa kami temui di toko kue besar di kota.
’’ Lan, antar aku ke toilet, yuk!’’ pinta Sri, “ Kebelet pipis, nih,” kedua kakinya dirapatkan satu sama lain.
’’Sek to*, nanggung,’’ kataku sambil mengunyah suapan terakhir donat keju.
Aku mengantar Sri ke toilet yang ada di dalam rumah utama Eyang Ti. Sebenarnya rumah besar ini tak begitu familiar bagiku. Bisa dihitung dengan jari kapan aku ke rumah besar ini setiap tahunnya. Berbeda dengan Mbak Dayu, orangtuanya tinggal disini. Di desa Pahesan tidak ada rumah sebesar ini dengan sebuah pendopo di halaman utama. Dari cerita yang aku dengar, rumah ini sudah sangat tua. Sebenarnya untuk disebut rumah kurang tepat karena rumahnya tak hanya satu bangunan.
’’ Kita ke toilet yang paling dekat saja.’’
’’ Memangnya ada berapa toilet?’’
’’ Banyak. Ini kan rumah keluarga besar dulunya. Adik Bapakku saja ada lima belum lagi toilet khusus untuk tamu dan orang-orang yang bekerja di rumah ini.’’
Akhirnya kami sampai di toilet tamu yang tak jauh dari pendopo. Sri masuk ke dalam bilik. Sementara aku menunggu sambil berdendang, mengisi kekosongan. Lewat ekor mataku kulihat Mbak Dayu berjalan menuju ke dalam rumah.
’’ Latihannya sudah mulai, Mbak?’’ tanyaku.
’’ Belum. Ngapain kamu di sini?’’ tanyanya ketus.
’’ Nganter Sri pipis,’’ jawabku, ’’ Ini juga rumah eyangku. Kenapa Mbak Dayu tanyanya begitu?’’
’’ Memangnya namamu ada Soenggononya?’’
“ Ada, to. Jilan Aishaluna binti Sudiro bin Soenggono,’’ jawabku sambil tersenyum semanis mungkin.
Mbak Dayu sepertinya kehabisan kata,’’Jeneng** kok ndak ada jawa-jawanya,’’ sungutnya sambil berjalan ke dalam rumah utama.
Pintu toilet terbuka. Sri sudah selesai menunaikan hajatnya,” Yuk, kembali ke pendopo. Eh ya, tadi aku mendengar suara Ndoro Ayu.’’
’’ Tadi barusan lewat.’’