Jilan The Series, Puspa Arum

widyarini
Chapter #6

Sumpah Banyu Taman

Sesungguhnya hatiku tak tenang. Kenapa kejadian hilangnya kalung Eyang Ti bersamaan dengan aku dan Sri yang masuk ke dalam rumah utama. Teman-teman lain menatap penuh tanya tanya.

’’Ada apa to? Lha opo kalian ndak boleh pulang,’’ tanya Sundari padaku dan Sri.

’’Ndak apa-apa. Kamu duluan saja. Besok tak ceritain,’’ jawabku mencoba tenang.

’’Yo wis. Aku duluan, yo,’’ ujar Sundari.

Mas Barra menghampiri Sundari sambil berbisik. Aku melihat Sundari mengangguk mengerti. Anak-anak satu per satu meninggalkan pendopo. Sekarang tinggal Pak Wiyoko, aku, Sri, dan Mas Barra.

 

Pak Wiyoko menghampiri kami sambil berkata dengan nada serius, ’’Pakde mau tanya sama kalian. Apa kalian melihat kalung milik Bu Gayatri?’’

Aku dan Sri sama-sama menggeleng mantap,’’Mboten, Pakde,’’ jawabku.

Pak Wiyoko menghela napas, ’’Keadaanya begini. Kalian tadi masuk ke dalam rumah utama. Setelah itu ada benda yang hilang.’’

’’Kami ke toilet lalu melihat-lihat sebentar ke dalam. Ndak masuk ke ruangan atau kamar manapun,’’ jawab Sri.

’’Yakin, tidak masuk ke kamar atau melihat kalung?’’ tanya Pak Wiyoko masih penasaran.

’’Lana dan Sri ndak mungkin mencuri Pakde,’’ kata Mas Barra tak terima. Sekalipun hidup sederhana bukan berarti kami bisa dituduh sebagai pencuri.

Pakde Wiyoko manggut-manggut, ’’Ya, sudah kita masuk ke dalam. Mbok Asih akan memanggil orangtua kalian.’’

Wajah Sri tampak ketakutan. Sekalipun bukan kami pelakunya, bila sampai orangtua dipanggil jelas ini memalukan mereka. Bagaimanapun masuk ke dalam rumah orang lain tanpa izin merupakan perbuatan yang melanggar aturan sopan-santun.

Bersama Pak Wiyoko, kami memasuki ruang tamu di rumah utama. Semua keluarga Soenggono berkumpul, dari Eyang Ti sampai adik Bapak yang terakhir.

’’Sebelum orangtua kalian datang, lebih baik kalian berkata jujur saja. Mengaku sekarang maka masalah tak akan diperpanjang,’’ kata Bude Rukmini membuka percakapan. Matanya menatap tajam. Wanita itu adalah istri Pakde Indrajo, Ibu dari Mas Randu dan Mbak Dayu. Dia bukan berasal dari Glagah Anom. Sikapnya menunjukkan dia adalah nyonya di rumah ini setelah Eyang Ti.

Sri tampak gemetaran. Berhadapan langsung dengan keluarga besar Soenggono adalah pengalaman yang pertama baginya. Secara turun-temurun Kepala Desa di Pahesan dari Keluarga Soenggono. Sekalipun ada pemilihan, selalu saja keluarga Soenggono yang menang. Saat ini yang menjadi Kepala Desa adalah eyangku, Gayatri Soenggono. Ada jarak status yang lebar antara keluarga Soenggono dengan warga desa. Itulah kenapa bagi kami berhadapan dengan mereka seperti rakyat jelata dengan penguasa turun-temurun.

Mas Barra menatap Bude Rukmini dengan tenang. Matanya penuh percaya diri, ’’Lana dan Sri ndak mungkin mencuri, Bude,’’ jawabnya dengan bahasa Jawa halus, sebagai bentuk tata krama terhadap orang yang lebih tua.

’’Saya ndak mencuri apa-apa. Kami hanya pergi ke toilet lalu melihat-lihat ke dalam sebentar, ndak masuk ke ruangan manapun. Kalungnya seperti apa juga kami ndak pernah lihat,’’ aku menimpali.

’’Benar, Bu,’’ kata Sri menambahi. Dia menunduk sambil sesekali melihat ke arah Bude Rukmini.

’’Harus dibuktikan dulu ucapan kalian,’’ kata Bude Rukmini, “Mbok Asih, periksa mereka!’’ perintahnya sambil memberi kode kepada Mbok Asih.

Mbok Asih dengan sigap menghampiri kami. Pertama yang diperiksa adalah Sri, dengan meraba baju yang dikenakan. Nihil. Kemudian beralih ke aku. Nihil juga. Kami seperti pesakitan yang ditonton banyak orang. Dadaku terasa sesak. Mas Barra menatap tajam ke arah Bude Rukmini.

’’Sudah, sudah, kita tunggu orangtua mereka datang,’’ lerai Eyang Ti.

Tak berapa lama datang kedua orangtua kami. Pertama, aku melihat Bapak dan Ibu berjalan dengan tenang tetapi sulit menyembunyikan raut kecemasan dari wajah mereka. Terakhir, seorang wanita setengah baya, Ibu dari Sri, Namanya Lik Kusni. Wajahnya menampakan kecemasan dan ketakutan. Terdengar suara salam yag dibalas oleh semua yang ada di dalam.

’’____karena semua sudah berkumpul. Kita mulai saja,’’ ujar Eyang Ti membuka percakapan.

’’Ini sebenarnya ada apa, Bu. Kenapa semua berkumpul?’’ tanya Bapak.

’’Hari ini Ibu kehilangan sebuah kalung yang disimpan di lemari dalam kamar. Bertepatan dengan itu, ada dua anak kecil masuk ke dalam rumah utama tanpa permisi,’’ lanjut Eyang Ti sambil menatap aku dan Sri.

Bapak menoleh kepadaku, ’’Betul, Nduk?’’

Aku mengangguk, ’’Begini, Pak. Lana mengantar Sri ke toilet lalu masuk ke dalam rumah sebentar. Kami bertemu dengan Mbak Dayu, Mbok Asih dan Bulik Gantari,’’

Lihat selengkapnya