Jilan The Series, Puspa Arum

widyarini
Chapter #8

Mbah Mintono

Ibu sudah mempersiapkan makanan kesukaan Mas Barra, tertata rapi di atas meja makan. Sambil menunggu Bapak yang sedang menjemputnya. Aku mengupas mangga kesukaannya. Selama liburan Panjang, Mas Barra bisa membantuku menyelediki perihal kepercayaan anak kembar di desa Pahesan dan alasan Eyang Ti bersikap berbeda kepada kami. Aku tersenyum membayangkan itu.

Suara deru motor Bapak memasuki halaman rumah, terdengar suara kunci diputar, suara deru pun berhenti. Bersamaan dengan itu, terdengar suara salam yang kemudian dijawab oleh kami yang ada di dalam rumah. Ibu tergopoh-gopoh menyambut disusul Bude Rahma.

’’Ya ampun, Le. Sudah dua bulan ndak ketemu sekarang sudah terlihat lebih tinggi,’’ sambut Ibu sambil mengelus kepala Mas Barra.

’’Bude juga ikutan pangling, nih,’’ timpal Bude Rahma.

’’Sudah, sudah, biarkan Barra makan dulu, ngobrolnya disambung nanti,’’ ujar Bapak.

Kembalinya Mas Barra membawa secerca harapan untukku. Selama liburan ini, kami bisa bersama-sama mencari informasi terkait anak kembar. Aku yakin Mbok Darti masih menyembunyikan sesuatu. Mantan rewang keluarga Soenggono yang telah bekerja hampir setengah abad tentunya mengetahui seluk-beluk keluarga itu.

Mas Barra menatapku. Dia sepertinya mengetahui apa yang sedang aku pikirkan, ’’Mau daftar di SMA mana, Lan? SMAN 1 Pemalang?’’

’’SMAN 1 Glagah Anom, Mas, lebih dekat.’’

Mas Barra masih mengamatiku sambil makan. Matanya seolah-olah bertanya. Kamu lagi mikirin apa? Aku balik melihatnya. Ada yang mau aku ceritakan.

Setelah acara makan selesai, aku dan Mas Barra duduk di teras sambil memakan kacang rebus, ’’Kamu mau ngomongin apa?’’ tanyanya dengan mulut masih mengunyah kacang.

’’Telan dulu, baru ngomong,’’ protesku, ’’Lana mau cari tahu penyebab kita dipisah sejak bayi. Kemarin sudah tanya Bude Rahma dan Mbok Darti tetapi belum menjawab rasa penasaranku.’’

’’Mitos dicari ya ndak bakal ketemu kebenarannya.’’

’’Bukan masalah anak kembarnya. Apa Mas Barra ndak merasa aneh dengan sikap Eyang Ti kepada kita?’’

’’Aneh ndak aneh, Mas sudah menganggap ndak punya nenek lagi. Toh memang begitu kenyataannya. Simbah dari pihak Ibu sudah ndak ada lagi, anggap saja dari pihak Bapak juga sama. Lha wong ada juga sama saja. Ndak penting nyari tahu kayak gitu,’’ gerutunya.

’’Bapak itu lahir di weton yang sama dengan Eyang Ti,’’ lirih aku berbisik, ’’Itu sebabnya Eyang Ti seperti tidak suka sama Bapak. Mas Barra perhatikan baik-baik, bagaimana Eyang Ti bersikap terhadap anak-anaknya yang lain. Pakde Indrajo, itu anak kesayangan Eyang, sampai Mas Randu dan Mbak Dayu pun lebih disayang dibanding kita.’’

Mas Bara acuh tak acuh mendengar ceritaku. Aku berbisik ke telinganya, ’’Lana yakin Mbah Min tahu masalah ini. Ayo kita ke sana.’’

Lihat selengkapnya