Pasarean Pahesan, atas petunjuk Mbah Min akhirnya sampai juga aku dan Mas Barra di tempat ini, tempat di mana leluhur keluarga Soenggono dimakamkan. Di sinilah anak kembar pertama di wilayah Glagah Anom beristirahat untuk selamanya. Aku masih ingat setiap selesai salat Idul Fitri, kami sekeluarga berjalan kaki ke sini untuk ziarah kubur, mendoakan yang telah tiada.
Aku dan Mas Barra sengaja datang pagi lalu agar tidak terlalu mencurigakan kami membawa sapu lidi dan sejumput bunga. Pasarean Pahesan letaknya berdampingan dengan TPU Desa Pahesan, untuk sampai ke tempat ini, kami berjalan menelusuri jalan setapak di dalam area TPU. Sebuah tangga terdiri dari tiga undakan terbuat dari batu kali yang tersusun rapi membawa kaki kami memasuki gapura makam tua ini. Ada beberapa makam yang letaknya berjajar rapi.
‘’Kita periksa masing-masing nisannya, Lan!’’ saran Mas Barra sambil menghapus peluh di dahinya.
‘’Ayo! Kita bersihkan juga daun-daun yang berserakan di sini,’’ kataku sambil menyapu area Pasarean. Aku tertegun pada sebuah batu nisan tua yang terukir tulisan dalam aksara Jawa. Terbata-bata aku mencoba membaca aksara yang telah memudar.
Sarenipun hayuning sekar ingkang arum, Dewi Sedayu
(Tertidur cantiknya bunga yang harum, Dewi Sedayu)
Dewi Sedayu? Nama yang tidak asing di telingaku. Aku meletakkan sapu lidi di tanah, tanganku meraba batu nisan, menggosoknya untuk melihat dengan jelas tulisan yang terukir. Aku beralih ke batu nisan di sampingnya, menggosok dengan tanganku untuk membaca ukiran aksara jawa yang tertera.
Sarenipun suralaksana ingkang manggala, Damar Langit
(Tertidur si pemberani yang melindungi, Damar Langit)
Damar Langit? Nama yang pernah aku dengar sebelumnya tetapi entah di mana. Mas Barra ikut jongkok untuk melihat tulisan di batu nisan yang aku pegang.
‘’Bacanya apa itu, Lan?’’
‘’Sarenipun suralaksana ingkang manggala Damar Langit,’’ jawabku sambil menghafal dalam hati. Aku akan tanyakan pada Mbah Min nanti.
‘’Namanya Panjang sekali.’’
Aku menoleh ke arah Mas Barra, ‘’Bahasa Jawamu dapat nilai berapa to, Mas?’’
Mas Barra garuk-garuk kepala, ‘’Terus apa itu kalau bukan nama?’’
‘’Ini makam Damar Langit, yang satunya Dewi Sedayu. Setelah selesai bersihin makam kita ke rumah Mbah Min lagi. Ada yang mau Lana tanyakan.’’
‘’Liburku ndak lama lagi, Lan. Kita sudahi keingintahuanmu setelah ini. Perasaan Mas ndak enak lihat kamu main-main ke makam, ndak tahu besok ke tempat mana lagi.’’
Aku menghela napas. Mas Barra mengetahui betul sifatku. Aku tidak akan berhenti sebelum apa yang aku cari didapatkan. Setelah membersihkan area pasarean, kami langsung bergegas menuju rumah Mbah Min. Ketika kakiku menuruni anak tangga yang terakhir, sebuah suara mengagetkanku.
’’Apa yang kalian lakukan di sini?’’ tanya Bude Rukmini yang berdiri di depanku sambil menatap penuh selidik.
’’Bersih-bersih makam, Bude’’ jawabku pelan.
Mas Barra yang berada di belakangku menyeruak, ’’Siapa, Lan?’’
Bude Rukmini tersenyum sinis,’’Ya, ampun si kembar. Berdua di pasarean keramat pagi-pagi begini bisa membawa pertanda buruk.’’
Aku melihat Mbak Dayu berjalan pelan menyusul ibunya, membawa keranjang bunga di tangannya. Dia tampak terkejut saat melihatku, ’’Lho, ngapain kalian berdua di makam leluhur keluarga Soenggono?’’ tanyanya heran.
’’Ini juga makam leluhur kami,’’ jawab Mas Barra lantang.
’’Di sini kembar pertama di Glagah Anom beristirahat,’’ kataku menambahi.