Malam ini Mas Barra menginap di rumah. Kesempatan ini kugunakan untuk berdiskusi dengannya. Aku menyiapkan buku khusus untuk mencatat setiap petunjuk yang kami peroleh selama ini. Bapak dan Ibu mungkin mengira kami sedang belajar.
’’Petunjuk pertama, bapak lahir di weton yang sama dengan Eyang Ti. Kedua, tidak ada nama Soenggono di belakang nama beliau. Nanti kita bisa cek di Kartu Keluarga,’’ ujarku sambil menulis, ’’Petunjuk ketiga, kembar pertama di makamkan berdampingan di Pasarean Pahesan. Menurut cerita Mbah Min, ratusan tahun lalu, Raden Arya Samudra dan Damar Langit bertarung karena salah paham dengan Dewi Sedayu,’’ lanjutku. Aku terdiam entah perasaan apa ini, setiap menyebut ketiga nama itu kurasakan mengenal mereka.
’’Bisa jadi begini, anak kembar dianggap malapetaka karena menyebabkan salah satu meninggal atau bahkan keduanya,’’ Mas Barra mengambil pena lalu juga menulis di bukunya.
’’Bagaimana kita tahu kalau Raden Arya Samudra meninggal saat itu?’’ tanyaku.
’’Tak ada makam Raden Arya Samudra di pasarean. Dia kan anak adipati dan bisa jadi menjadi bupati setelah Raden Wirayuda, mungkin ada catatan sejarah tentangnya.’’
Aku dan Mas Barra saling pandang, ’’Perpustakaan Daerah,’’ ucap kami serentak kemudian tertawa.
’’Besok pagi kita ke sana setelah itu baru menemui Pak Wiyoko,’’ usul Mas Barra. Dia terdiam sesaat seperti sedang menimbang sesuatu, ’’Besok bukannya kamu masuk ke sekolah untuk pembagian kelas?’’
Aku mengangguk, ’’Paling sebentar, Mas. Setelah itu kita bisa langsung ke Perpusda.’’
***
Aku berangkat naik angkot menuju SMAN 1 Glagah Anom sementara Mas Barra akan menyusulku nanti. Jarak Desa Pahesan ke sekolah sekitar empat kilometer, mungkin karena dekat itulah kenapa Ibu menginginkanku sekolah di sana. Sekolah tua itu dulunya adalah bangunan peninggalan Belanda meskipun tidak secara keseluruhan. Adanya bangunan cagar budaya membuat daya tarik tersendiri bagi sebagian orang kecuali aku.
Akhirnya angkutan desa berwarna biru muda itu berhenti di halte seberang SMAN 1 Glagah Anom, aku pun turun dan bersiap menyeberang. Suasana tampak lengang. Arlojiku menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, sepertinya aku kepagian. Entah kenapa pertama kali kakiku menginjak di gerbang sekolah ini rasanya seolah ada perasaan asing yang menahan untuk tidak masuk ke dalam. Namun, kuabaikan saja dan tetap melangkahkan kaki ke dalam.
Aku memilih menunggu di selasar depan pintu utama menuju ruang Kepala Sekolah. Seorang gadis seusiaku turun dari bus dan melangkah menuju tempatku duduk. Jilbabnya berkibar diterpa angin pagi, dia pun tersenyum ke arahku lalu menyapa, ’’Assalamu’alaikum, hai sepertinya kita kepagian.’’
Gadis itu memiliki wajah yang khas, mata yang besar dan hidung yang mancung. Perpaduan Jawa-Arab pikirku. Aku balas tersenyum dan membalas salamnya. ’’Wa’alaikumsalam, iya kayaknya sih begitu makanya aku menunggu di sini,’’ balasku.
Dia mengulurkan tangannya, ’’Khafa.’’
’’Jilan, biasa dipanggil Lana,’’ aku membalas jabatan tangannya sambil tersenyum.