Jilan The Series, Puspa Arum

widyarini
Chapter #11

Jejak Sejarah

Kami berjalan kaki dari Perpusda ke Alun-Alun Kabupaten lalu berhenti di sudut jalan RE Martadinata, di sebuah warung makan yang khusus menjual Nasi Grombyang ̶ makanan khas Pemalang mirip dengan soto dengan kuah hitam dan campuran daging sapi yang dibumbui khusus ̶ salah satu yang terkenal selain yang di samping SMAN 1 Pemalang.

’’Perjanjilah padaku, setelah dari rumah Pak Wiyoko kita sudahi pencarian tentang sejarah anak kembar di Pahesan. Mas kan minggu depan harus balik ke pondok,’’ pinta Mas Barra sambil mengaduk Nasi Grombyang setelah dicampur dengan cabai hijau tumbuk.

Aku hanya mengangguk, ’’Lana masih penasaran, Mas. Bila memang cerita anak kembar pertama di Desa Pahesan menjadi alasan dipisah pengasuhannya untuk menghindari bala seharusnya ada catatan sejarah yang mendukung. Kalau hanya dari mulut ke mulut bukannya itu mitos? Eyang Ti harusnya ndak punya dasar untuk bersikap seperti itu kepada kita.’’

’’Ndak semua kebencian harus mempunyai alasan.’’

Aku menatap Mas Barra, ’’Ada yang Mas tahu tapi Lana ndak tahu?’’

Mas Barra hanya mengangkat bahu. Kami menikmati makan siang sambil asyik dengan pikiran masing-masing. Aku melihat Mas Barra menghabiskan tiga tuduk sate daging sapi yang tampak menggoda di mata. Sepertinya dia kelaparan, ’’Kalau satenya lebih dari satu, sisanya Mas Barra bayar sendiri,’’ gerutuku.

Mas Barra cemberut, ’’Ya, Mas nanti bayar sendiri deh.’’

Kami memutuskan Salat Zuhur di Masjid Agung. Di sisi samping masjid ada sebuah gang kecil dengan gapura di atasnya. Aku membaca tulisan yang tertera di gapura, Pasarean Agung Soeronatan Kauman Pemalang, ’’Boleh masuk ke dalam ndak ya?’’ gumamku.

Mas Barra menoleh lalu mengangkat bahu, ’’Mau melihat ke dalam? Ntar kita bisa tanya juru kunci siapa tahu ada makam Raden Arya Samudra di dalam,’’ ajaknya.

‘’Mumpung di sini. Setelah tanya-tanya ke Juru Kunci baru nanti kita ke rumah Pak eh Pakde Wiyoko,’’ jawabku.

Seorang lelaki tua menyambut kami sambil menatap heran, ’’Ada perlu apa, Nak?’’ tanyanya.

’’Kami mau mencari tahu daftar nama Bupati Pemalang dari yang pertama hingga terakhir, Pak. Boleh ndak, Pak?’’ tanya Mas Barra.

Aku menatap lelaki tua itu yang sepertinya memperhatikanku dengan seksama. Matanya sayu tetapi sorotnya begitu tajam. Dia lalu menunjukkan sebuah prasasti yang terukir sepuluh mantan Bupati Pemalang. Nama-nama yang tertera tak ada kaitannya dengan apa yang kami cari. Seperti informasi dari Mbah Min, bisa jadi Raden Wirayuda dan Raden Arya Samudra dimakamkan di Pasarean Glagah Anom.

Setelah basa-basi dengan Juru Kunci lalu kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Pak Wiyoko. Rumah bercat putih dengan arsitektur tempo dulu menyambut kedatangan kami. Lelaki setengah baya duduk di teras sambil membaca koran. Ketika kami mengucapkan salam, dia menurunkan koran lalu melipatnya.

Pak Wiyoko tersenyum, ’’Wa’alaikumsalam, wah tumben saya kedatangan tamu anak-anak, biasanya hanya bapak-bapak,’’ ujar beliau kemudian tertawa. ’’Yah, anak muda sekarang sudah sedikit yang tertarik belajar kesenian tradisional.’’

’’Kami kesini ada yang mau ditanyakan, Pakde,’’ ucap Mas Barra.

Lihat selengkapnya