Mbah Min sedang menikmati secangkir kopi di teras rumahnya ketika kami tiba. Mas Barra memarkirkan sepeda di dekat pohon mangga yang sama ketika pertama kalinya aku ke rumah itu. Aku menetap jalan setapak yang menuju lokasi Candi Pengilon. Semilir angin yang berembus dari arah hutan jati terdengar seperti bisikan. Aku buru-buru mengalihkan pandangan.
’’Assalamu’alaikum, Mbah,’’ sapa Mas Barra.
’’Wa’alaikumsalam,’’ jawab Mbah Min. Lelaki tua itu menatapku tajam lalu tersenyum. Kepalanya manggut-manggut ketika Mas Barra mencium punggung tangannya.
Aku berdiri mematung di belakang saudara kembarku. Dia lalu menyikut lenganku, ’’Lan,’’ bisiknya.
Perlahan aku mendekat Mbah Min lalu mencium punggung tangan lelaki tua itu. Aroma tembakau dan kopi yang berpadu menciptakan bau yang membuat kepalaku pusing. Tangannya terasa hangat.
’’Ada lagi yang mau ditanyakan?’’ tanya Mbah Min.
Mas Barra lalu menurunkan tas punggungnya. Di dalam ta situ ada kotak yang berisi lontar, ’’Yang Barra mau tanyakan ada di dalam tas,’’ jawabnya.
’’Jangan dibuka di sini. Ayo di dalam saja, ndak enak dilihat orang,’’ ucap Mbah Min.
Kami berjalan mengikuti lelaki tua itu masuk ke dalam rumah. Aku masih bertanya-tanya kenapa dia memilih tinggal sendirian di rumahnya. Seharusnya dia bisa tinggal di rumah Bu Nastiti. Apakah mungkin karena tugasnya sebagai Juru Kunci Candi Pengilon membuatnya harus tinggal di rumah tua ini?
Mas Barra mengeluarkan kotak kayu dari dalam tas dan meletakkannya di meja. Mbah tak tampak terkejut. Dia hanya menatapnya dengan wajah yang tiba-tiba berubah sendu. Mungkin kotak kayu itu mengingatkannya pada saudara kembarnya yang telah tiada.
’’Pakde Wiyoko memberikan ini kepada kami. Kata beliau ini Mbah Min titipkan pada bapaknya berpuluh tahun yang lalu,’’ ujar Mas Barra. Dia membuka kotak dengan hati-hati lalu memperlihatkan isinya.
Helaan napas terdengar perlahan. Mbah Min menatap isinya lalu beralih menatap kami, ’’Di usia kalian, kami dulu juga melakukan penyelidikkan yang sama. Sayangnya gagal. Adik Mbah sakit dan akhirnya meninggal di usia enam belas tahun. Sejak itu Mbah memutuskan berhenti mencari tahu. Mungkin buka kami yang ditakdirkan untuk membuka rahasia itu.’’
’’Mbah Mantini meninggal karena sakit?’’ tanyaku. Entah kenapa aku merasakan bahwa ada sesuatu di balik itu.
’’Sudahi keingintahuan kalian. Rasa ingin tahu yang besar bisa membuat kalian celaka,’’ ujar Mbah Min.