Gayatri menatap potret keluarga di dinding ruang tamu. Saat itu usianya 35 tahun dan almarhum suaminya 42 tahun, putri bungsunya baru saja lahir. Meskipun berbeda latar belakang, takdir membawa mereka bersatu dalam ikatan pernikahan. Sebelumnya Margono Soenggono pernah menikah tetapi tak memiliki keturunan. Kemudian setelah bercerai dengan istri pertamanya, dirinya dijodohkan dengan lelaki kaya itu. Siapa di Glagah Anom yang tak mengenal Keluarga Soenggono? Keturunan dari Ki Ageng Reksapati yang ternama. Darah biru bangsawan Kerajaan Pajang itu telah menetap ratusan tahun yang lalu di Pahesan.
Gayatri lalu melihat dengan seksama potret kelima putrinya. Betapa ia menyayangi mereka. Saat ini putri sulungnya ̶ Giyanti telah berusia 38 tahun tetapi selalu saja gagal menemukan jodoh. Ada saja penghalangnya. Ketika ada pemuda yang melamar, Giyanti menolak. Saat dia menyukai seorang pemuda ternyata bertepuk sebelah tangan. Terakhir kali, saat hendak menggelar acara akad nikah, calon menantunya meninggal dalam perjalanan menuju rumahnya. Sejak gagal sekian kali akhirnya Giyanti menutup hatinya hingga sekarang. Adik-adiknya pun jalan cintanya tak jauh beda. Ibu mana yang tak sedih bila putri-putri yang sudah dewasa belum satu pun yang menikah.
Seandainya dulu dia mengetahui tentang kutukan turun-temurun di Keluarga Soenggono mungkin lebih baik dia menolak perjodohan itu. Orangtuanya telah silau harta. Gayatri memang dari keluarga biasa, tak ada darah biru yang mengalir dalam darahnya. Dahulu bapaknya berhutang budi kepada ayah mertuanya. Hutang budi yang kini harus dibayar mahal. Saat ini, hidupnya memang berkecukupan bahkan bisa dikatakan berlebihan. Suaminya meninggalkan banyak sawah, tanah, beberapa tempat penggilingan padi, dan beberapa usaha lain yang cukup untuk anak dan keturunannya.
’’Bu,’’ panggil Giyanti.
Gayatri menoleh ke sumber suara. Putri sulungnya tersenyum menatapnya lalu berujar, ’’Yanti sudah membuat sayur lodeh kesukaan Ibu. Mumpung masih hangat, ayo makan,’’ ajaknya.
Giyanti memiliki bakat memasak seperti dirinya. Dia sekarang membuka usaha catering dan toko kue di Glagah Anom. Saat ini omsetnya sudah cukup untuk menggaji belasan orang. Seorang wanita sukses dalam bisnis tetapi tidak soal jodoh.
’’Adik-adikmu mana?’’ tanya Gayatri.
’’Mereka menunggu di ruang makan. Mas Indrajo belum pulang. Mungkin masalah pembelian sawah dengan Pak Ongko belum selesai. Lagian buat apa sih, Bu, kok beli sawah di kecamatan lain. Sawah kita kan sudah banyak. Siapa lagi yang mau urus?’’ tanya Giyanti.
’’Masmu biar banyak kegiatan. Dia kan nanti yang akan mengganti posisi Ibu. Biar dia belajar mengurus usaha keluarga. Kalau jadi Kepala Desa Masmu itu ndak cocok, kamu yang cocok. Nanti usaha katering bisa dibantu sama adik-adikmu,’’ jawab Gayatri.
’’Ada Mas Diro juga kan, Bu. Kasihan dia hanya pegawai kecamatan. Berapa sih gajinya? Sudah ketakar. Minta Mas Diro ngurus usaha Ibu yang lain saja. Biar Mas Indrajo ndak pusing ke sana-sini,’’ ujar Giyanti sambil menarik kursi untuk ibunya saat sampai di meja makan.
Gayatri duduk lalu menatap putri-putrinya satu demi satu. Sebagai seorang ibu, dia merasa gagal membuat putri-putrinya bahagia. Mereka seharusnya sudah berumahtangga seperti wanita lain yang sebaya.
Rukmini menatap Giyanti, mendengar adik iparnya menyarankan agar Sudiro diberi sebagian usaha mertuanya membuatnya tak suka padahal selama ini anak lelaki kedua Gayatri bahkan tak dianggap sebagai seorang Soenggono?