Liburan Mas Barra telah habis. Dia harus kembali ke pondok. Aku harus menelan kekecewaan karena petunjuk berhenti sampai di Serat Sedayu. Misteri penyebab anak kembar yang dipisah pengasuhannya memang akhirnya terungkap. Penyebab bencinya Eyang Ti kepada kami juga telah terbuka. Namun, kutukan terhadap keturunan perempuan Dewi Sedayu menjadi tanda tanya besar bagiku. Apakah alasan sesungguhnya Eyang Ti membenci kami adalah karena kutukan itu? Adik-adik Bapak belum ada satu pun yang menikah. Eyang Ti pasti sedih karenanya.
Aku menatap kotak kayu yang berisi Lontar Serat Sedayu di meja. Bagaimana caranya aku mendapatkan lontar lainnya yang sekarang ada di rumah Eyang Ti? Mbah Min bilang petunjuk untuk mendapatkan Puspa Arum ada di sana. Batu Merah Delima yang bisa digunakan untuk membatalkan kutukan. Mbah Min sempat bilang bila ada keturunan Dewi Sedayu yang ditakdirkan bisa menghilangkan kutukan. Siapa keturunan yang dimaksud? Apakah Mas Randu atau Mbak Dayu? Tak mungkin kami karena anak kembar justru menjadi penyebab kutukan itu terjadi.
’’Besok Mas Kembali ke pondok. Berjanjilah untuk tak meneruskan penyelidikan lagi. Mas tahu kamu masih penasaran dengan lontar yang ada di rumah Eyang Ti,’’ ujar Mas Barra. Dia menatapku dengan raut wajah cemas, ’’Jangan melakukan tindakan yang gegabah. Ingat kan peristiwa Sumpah Banyu Taman? Sudah cukup kita dipermalukan. Mengerti?’’
Aku mengangguk. Mas Barra memelukku dan menepuk-nepuk punggungku, ’’Perjanjilah, Lan,’’ pintanya.
’’Lana, janji, Mas,’’ ucapku pelan. Aku tahu betapa sayangnya saudara kembarku ini. Selama liburan ini kami telah melewatinya dengan melakukan penyelidikkan yang membuat banyak rahasia terungkap.
’’Sudah jangan sedih. Nanti liburan kan kalian bisa kumpul lagi. Bar, jangan lupa nanti pamitan ke Eyang Ti,’’ ujar Bapak yang melihat kami berpelukan lama.
’’Wah, kalau orang yang ndak kenal nanti mengira kalian pacarana,’’ timpal Ibu sambil tertawa.
Kami berdua ikut tertawa. Mas Barra melepaskan pelukan lalu mencubit pipiku, ’’Siapa yang mau sama Lana yang pemikir? Melihatnya lebih akrab dengan buku saja sudah bikin pusing,’’ selosohnya.
’’Lana tuh misterius tahu. Gadis seperti Lana lebih menarik didekati daripada yang sukanya dandan dan bergaya,’’ timpalku tak mau kalah.
***
Kembalinya Mas Barra ke pondok membuatku sejenak berhenti memikirkan lontar yang ada di tangan Eyang Ti. Hari-hariku mulai disibukkan dengan kegiatan sekolah. Di banding teman-teman sekelas, sepertinya hanya aku yang menghabiskan waktu istirahat di dalam ruangan. Khafa sesekali mengajakku ke Koperasi Sekolah untuk sekadar membeli roti.
’’Yakin enggak ikut?’’ tanya Khafa.