Damar Jati masih membuatku penasaran. Matanya ibarat magnet yang menarikku masuk ke dalam. Sejak pertama kali bertemu dua mata besar itu tak sanggup kutatap. Tanpa kusadari aku selalu memperhatikannya selama di kelas. Awal masuk pembagian tempat duduk, dia bersama Arman duduk di depanku. Hari berikutnya dia pindah ke tempat lain, bertukar meja dengan Sinta dan Mega. Di satu sisi aku merasa sedih karena sosoknya menjadi jauh dari jangkauan mata. Namun, di sisi lain ada rasa lega karena mukaku yang memerah setiap kepergok Damar Jati tak lagi terjadi.
Apakah aku menyukainya? Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Entahlah. Aku sendiri tak paham dengan perasaan yang baru pertama kali terjadi ini. Damar Jati memang memiliki karakter yang menyenangkan. Dia terlihat selalu ceria dan membuat siapa pun merasa senang. Apakah dia menyadari bila aku memperhatikannya dari jauh?
Damar Jati selalu datang pagi setelahku. Di dalam kelas memang hanya aku dan dia yang sampai di sekolah lebih dahulu disbanding teman-teman. Bahkan tiga puluh menit lebih pagi dari teman yang mendapat jatah piket menyapu lantai kelas. Aku suka duduk sendirian sambil membaca buku atau menulis. Catatan tentang perjalananku mencari jejak sejarah Si Kembar Pahesan selalu kubawa dalam tas. Bahkan isi dari Serat Sedayu kubaca berulang-ulang. Sengaja kusalin dari lontar yang ada di rumah.
Aku masih penasaran dengan lontar yang ada di Eyang Gayatri, memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkannya. Siapa di antara anak-anak Eyang yang bisa kudekati? Bulik Gitayu paling ramah di antara yang lain. Saatnya melakukan langkah-langkah kecil sebelum Mas Barra kembali ke Pahesan.
’’Wajahmu pucat, Lan,’’ tegur Khafa mengagetkanku. Dia baru saja sampai di dalam kelas dan langsung duduk di sebelahku.
’’Masa, sih?’’ tanyaku balik.
’’Enggak sarapan, ya?’’ tanyanya lagi.
’’Sudah di rumah. Cuma memang perutku enggak enak, nih. Biasa kalau mau datang bulan,’’ jawabku.
Teman-teman sekelasku datang menjelang pelajaran di jam petama dimulai. Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Nina mengucapkan salam ketika sampai di kelas. Dia memberikan tugas untuk melanjutkan materi pelajaran sebelumnya. Perutku semakin melilit. Seperti ada yang bergejolak di dalamnya. Aku melirik ke arah Khafa. Teman semejaku itu sedang serius menyalin tulisan di papan tulis.
’’Fa, bisa antar aku ke UKS?’’ tanyaku.
Khafa menolek ke arahku, ’’Wajahmu kok makin pucat, Lan,’’ jawabnya.
Keringat dingin kurasakan mengalir di pelipis dan tubuhku seketika merasa dingin. Khafa dengan sigap mengacungkan jari, ’’Izin, Bu! Saya mau antar Lana ke UKS. Dia sakit,’’ serunya.
’’Ya, sudah bawa saja ke sana,’’ jawa Bu Nina.
Mata teman-teman sekelas tertuju ke arahku. Aku berdiri dan melangkah digandeng Khafa. Setelah sampai di depan papan tulis, tubuhku tiba-tiba kehilangan daya. Seketika ambruk ke lantai tetapi langsung ditangkap kedua tangan Khafa. Aku pingsan tetapi entah kenapa pikiranku masih tersadar. Tubuhku memang tak bisa digerakkan. Aku kehilangan kendali atas raga ini. Aku merasakan Damar Jati dan Arman setengah berlari ke arahku. Mereka membantu menggotong tubuhku yang lemah keluar dari dalam kelas.