Jilan The Series, Puspa Arum

widyarini
Chapter #18

Teror Dimulai

Tak berapa lama, Bapak tiba di rumah. Beliau melihatku meringkuk sambil memegangi perut. Entah apa yang dibicarakan dengan ibu, konsentrasiku hanya pada rasa sakit yang tiada terkira.

’’Sebentar cari mobil pinjaman dulu. Lana ndak mungkin kuantar pakai motor.’’ Suara bapak terdengar sayup.

Aku mengucapkan istighfar berkali-kali. Keringat dingin semakin menjadi. Entah kenapa aku tak pingsan saja agar rasa sakit yang mengaduk-aduk perutku tak lagi kurasakan. Apakah asam lambungku naik sehingga membuat perutku begitu sakit? Entahlah.

Bapak kembali ke rumah sekitar tiga puluh menit kemudian. Beliau lalu menggendongku menuju ke luar rumah. Di pinggir jalan terparkir mobil milik Pak Sarjo. Tentu saja buka mobil milik Eyang Ti yang dipinjam bapak. Di saat sakit seperti ini kenapa aku mengingatnya, membuat hati ini tiba-tiba ikutan perih.

Jarak Desa Pahesan ke Rumah Sakit di Glagah Anom sekitar tiga puluh menit berjalanan dengan mobil. Rumah Sakit milik sebuah Yayasan Sosial yang selalu menjadi alternatif pertama karena letaknya tak begitu jauh. Aku langsung dibawa ke ruang UGD ditemani ibu, sementara bapak mengurus pendaftaran di loket adminitrasi.

Perawat yang bertugas jaga di UGD segera melakukan prosedur pemeriksaan dari mengukur suhu tubuh sampai tensi darah. Salah satu dari mereka mengambil selang infus lalu mencari pembuluh nadi untuk memasukkan jarum ke dalamnya. Seumur hidup baru kali ini aku masuk Rumah Sakit, apalagi diinfus. Rasa takut tiba-tiba menyergap. Bau desinfektan dan obat tercium pekat. Ingin muntah rasanya tetapi kutahan.

Seorang dokter jaga datang lalu memeriksa tubuhku. Dia menatapku dengan ramah, ’’Sakit apa, Dik?’’ tanyanya.

’’Perut, Dok,’’ jawabku pelan.

Perawat kemudian memindahkanku ke ranjang dengan empat roda lalu membawaku ke ruang rawat inap disusul bapak dan ibu yang menatapku cemas. Aku dibawa masuk ke dalam ruangan yang terdiri dari tiga ranjang pasien yang masing-masing dibatasi dengan gorden. Sepertinya kau pasien pertama di ruangan ini.

’’Nanti Bapak pulang dulu mengabari kerabat. Malam ini ibu yang nemenin Lana. Kuat ya, Nduk. Dokter di sini pasti bisa menyembuhkan sakitmu,’’ ujar Bapak.

Aku hanya mengangguk lemah. Bibirku komat-kamit melafalkan zikir dan surat apa saja yang kuhapal. Apapun yang ada di perutku entah kenapa membuatku ketakutan. Ibu menuangkan air putih dari termos di segelas cangkir lalu mencampurnya dengan air dari botol mineral. Mungkin agar tak terlalu panas.

’’Minum dulu, Nduk,’’ pinta Ibu. Beliau membantuku duduk bersandar lalu mengangsurkan cangkir.

Aku meminumnya perlahan lalu kembali merebahkan tubuhku. Entah sampai jam berapa akhirnya aku bisa tidur juga. Tak ada mimpi sama sekali hingga hari berganti.

Lihat selengkapnya