Aku meringkuk di balik selimut karena ketakutan. Tubuhku gemetaran tak mampu dikendalikan. Aku berteriak ketika kurasakan ada yang berjatuhan ke atas tubuhku. Ketika membuka mata aku melihat ulat-ulat kecil menggeliat dalam jumlah yang banyak.
’’Wuaaaaaaa!’’ teriakku dengan mata terpejam.
Ibu tergopoh-gopoh masuk kamar, ’’Ada apa, Nduk? Apa ada yang sakit?’’’’ tanyanya panik.
Aku memeluk tubuh ibu masih dengan mata terpejam. Ibu mengelus punggungku lalu membisikkan doa untuk menenangkan. Perlahan mata ini kubuka dan ulat-ulat itu sudah tak terlihat lagi. Menghilang.
’’Ndak ada apa-apa, Bu. Lana cuma kaget mimpi buruk,’’ jawabku. Entah kenapa aku tak tega menceritakan apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar tak sabar menunggu Bude Rahma tiba.
’’Ndak ada apa-apa, Nduk. Mungkin karena lelah Lana jadi mimpi buruk,’’ ujar Ibu. Tangannya dengan lembut mengelus rambutku yang berantakkan.
Aku hanya mengangguk, ’’Bude Rahma kapan ke sini, Bu?’’ tanyaku.
’’Nunggu bapakmu pulang, nanti Ibu ke rumahnya. Malam ini Bude Rahma biar menemanimu tidur. Ndak usah takut,’’ jawab Ibu.
Bude Rahma datang setelah Salat Maghrib. Dia menatapku lalu tersenyum, ’’Ndak usah takut. Bude nanti nemenin Lana tidur,’’ ujarnya.
Aku ingin menceritakan apa saja yang kulihat dari pagi hingga petang menjelang. Namun, dari sorot matanya kurasa Bude Rahma sudah menebaknya, ’’Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Lana, Bude?’’ tanyaku.
’’Nanti Bude cari tahu dulu,’’ jawabnya singkat, ’’Selepas Salat Isya, Lana harus lekas tidur untuk mengembalikan stamina. Tubuh Lana lemah tetapi jiwa Lana kuat. Nanti bila saatnya tiba, Bude akan ceritakan.’’
Malam ini tidurku begitu pulas tanpa mimpi sama sekali. Aku merasa aman karena ada Bude Rahma di sampingku. Beliau adalah kakak kandung ibu yang menurut orang-orang memiliki mata batin yang kuat.
***
Pagi ini tubuhku menolak setiap makanan yang masuk. Semua dimuntahkan ketika sampai ke dalam lambung. Obat dari Rumah Sakit juga sudah tak bisa masuk ke dalam tubuh. Setiap kali minum air putih tak selang berapa lama keluar lagi. Tubuhku melemah. Ibu memintaku untuk tiduran. Beliau sepertinya panik apalagi kami hanya berdua di rumah. Bude harus kembali ke rumahnya untuk berganti pakaian dan memasak.
Aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu yang membentuk pola geometris berselang-seling. Bude belum bercerita apapun dan rasa penasaran masih menggelayut di benak. Apa yang sesungguhnya telah terjadi padaku? Apakah ini sakit biasa atau ada sesuatu yang aneh?
Benda berkilauan terlihat dari celah anyaman bambu ketika rasa kantuk datang tiba-tiba. Warnanya merah terang. Aku menyunggingkan senyum. Apakah karena kesadaranku mulai menurun hingga halusinasi tampak begitu nyata? Tak berapa lama aku terlelap.
Sayup-sayup kudengar percakapan di luar kamar. Namun, tubuhku belum bisa kugerakkan.