Senapati Ulagara mengamati dari jauh ketika gadis berseragam putih abu-abu itu memasuki gerbang bangunan yang oleh manusia disebut sekolah. Dia mengeluarkan aroma yang menarik perhatian makhluk seperti dirinya. Aroma wangi dan manis seperti yang keluar dari Puspa Arum. Tak salah lagi, dia adalah keturunan Ki Ageng Reksapati yang dinantinya hampir empat ratus tahun yang lalu.
’’Gusti Ratu Tsumaratungga pasti senang setelah mengetahui ini,’’ gumam Ulagara. Entah kenapa aroma gadis itu baru sekarang berhasil ia kenali padahal usianya sudah remaja. Seharusnya saat terlahir, ia sudah mampu mencium aromanya dari jauh, ’’Siapapun yang berhasil menutup aroma Puspa Arum dari tubuh gadis itu tentu mengetahui rahasia kesaktian Ki Ageng Reksapati.’’
Ulagara mengeluarkan desisan, tubuhnya meliuk-liuk di antara rerumputan. Tak ada satu manusia pun yang bisa melihat dirinya dalam wujud ular. Tentu saja, butuh energi besar untuk menampakkan diri pada mereka. Ada Batasan yang tidak boleh ia langar.
Seorang gadis lain tiba dan menyapa Si Pewaris. Mereka sepertinya saling berkenalan. Suara Si Pewaris terdengar kecil dan lembut seperti suara Dewi Sedayu.
’’Lana,’’ gumam Ulagara. Dia tahu dalam Bahasa Sansekerta, Lana berarti kekal. Siapa yang memberi nama itu pada Si Pewaris? Seolah menunjukkan memang benar gadis itu adalah keturunan yang ditunggu.
Kerajaan Amaradatu menguasai Glagah Anom sejak lama. Satu dari dua puluh lima kerajaan yang berada di Babatan. Amaradatu tak pernah dipandang sebagai kerajaan kuat sampai kemudian Ratu Tsamaratungga naik tahta ketika berhasil mencuri Puspa Arum dari raja terakhir Majapahit. Sejak itu Amaradatu menjadi salah satu yang terkuat dan ditakuti.
’’Hamba menghadap Gusti Ratu, keturunan Ki Ageng Reksapati yang kita nanti telah dilahirkan enam belas tahun yang lalu,’’ lapor Ulagara.
Ratu Tsumaratungga hanya tersenyum mendengar laporan dari Senapatinya. Ia adalah wanita yang wajahnya terpahat indah seumpama arca seorang dewi. Dia mengenakan mahkota emas bertahta batu permata. Rambutnya panjang hingga menyentuh lantai. Pakaian yang dikenakannya khas rajaputri zaman dahulu. Namun, sesungguhnya bukan itu wujud aslinya. Itulah adalah wujud yang diperlihatkan kepada manusia dan juga dirinya.
’’Aku terikat sumpah dengan Ki Ageng Reksapati ratusan tahun yang lalu, bahwa Amaradatu tak boleh melukai keturunannya. Namun, itu sebelum Puspa Arum dengan gegabah ia berikan kepada putrinya ̶ Dewi Sedayu. Berada di tangan yang salah, pusaka itu akan menghilang dan membuatku kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya lagi. Keturunannya pun akhirnya mendapatkan balasannya,’’ ujar Ratu Tsumaratungga.
’’Hamba menunggu titah Gusti Ratu.’’ Ulagar menjura sambil membungkuk.
’’Awasi gadis itu! Aku yakin tak akan lama Puspa Arum akan menampakkan dirinya kepada tuannya yang baru. Ini sungguh aneh. Bagaimana mungkin pusaka yang selalu memilih raja-raja besar di tanah Jawadwipa ini malah memilih gadis lemah sepertinya,’’ perintah Ratu Tsumaratungga, ’’Pastikan Pangeran Tsamarangga tak mengetahui bahwa Si Pewaris telah muncul.’’
’’Daulat, Gusti,’’ jawab Ulagara.
Hari demi hari, Ulagara mengamati Lana. Aromanya selalu menarik perhatian makhluk sepertinya tetapi tak ada satupun yang berani mendekat. Sang Senapati memilih melihatnya dari jauh. Begitu banyak manusia berkumpul di ruangan itu membuatnya harus menyingkir. Aura manusia yang beraneka ragam berbaur menjadi satu membuat energinya terkuras.