Rindayu mengunci pintu kamarnya. Dia lalu mengambil kotak kayu pemberian Gayatri. Tiga buah tabung tembaga dikeluarkan. Masing-masing berisi lembaran lontar dengan tulisan yang masih bisa dibaca. Keningnya mengernyit, ’’Bagaimana caranya aku membaca tulisan Jawa Kuno seperti ini?’’ gumamnya. Sudah dua minggu dia berusaha memahami apa yang tertuang dalam lontar.
Sebuah buku lusuh bersampul gading terdapat di dasar kotak. Rindayu mengambilnya dan mulai membuka lembar pertama. Dia lupa bahwa ada buku catatan tangan yang berisi terjemahannya.
Ingkang pamastu panulah Tapak Kusuma. Kalih punpunan kapendhem in njero wanantar Pahesan. Winisirna dadi pataka. Tatakakuti ingkang toya darpana.
(Sudah menjadi takdir kutukan itu dilayangkan Tapak Kusuma. Dua benda bertuah ditanam di tanah Pahesan,. Melebur menjadi bala. Surutnya telaga yang airnya bisa untuk berkaca)
Rindayu membaca bagian awal terjemahan. Dia bergidik. Apakah benar kutukan itu ada? Dia mengingat Kembali kata-kata eyangnya, bulik-buliknya memang belum ada satupun yang menikah. Dia mencoba mengingat kembali keturunan Soenggono yang lain. Mbah Min memiliki seorang anak perempuan, Bu Nastiti namanya dan dia memiliki seorang anak. Apakah itu anak angkat?
Rindayu merasa cemas ketika membaca satu demi satu kalimat terjemahan lontar pemberian eyangnya. Seberapa hebat Puspa Arum sehingga bisa membebasakan kutukan? Bukankah dahulu sudah ditanam di tanah Pahesan?
’’Ih menyebalkan! Aku pusing memahami terjemahan lontar ini!’’ gerutu Rindayu sambil membanting buku di tangggannya.
Suara ketukan mengagetkan Rindayu. Seseorang mengetuk kamarnya, ’’Ya, sebentar!’’ seru Rindayu. Dia memang sengaja menguncinya agar tak ada orang yang masuk tiba-tiba. Lontar dan buku terjemahan segera ia rapikan dan disembunyikan di bawah bantal. Rindayu melangkah menuju pintu lalu memutar kunci dan membuka handel perlahan.
’’Ndak biasanya pintu kamarmu dikunci, Nduk?’’ tanya Rukmini. Dia memicingkan mata, menatap putrinya dengan curiga.
’’Dayu cuma tak ingin diganggu, Bu. Tadi sedang mengerjakan PR. Sekarang sih sudah selesai,’’ jawab Rindayu. Dia menghindar dari tatap Sang Ibu.
Rukmini hanya menyunggingan senyum lalu masuk ke dalam kamar putrinya. Sudah dua minggu ini putrinya menunjukkan tindak-tanduk yang mencurigakan. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Putrinya memang tak pandai berbohong di hadapannya. Awalnya mungkin bisa tetapi tak ada bertahan lama menyembunyikan sesuatu darinya.
’’Ada yang mau Ibu ceritakan, Nduk,’’ ujar Rukmini, ’’Sini, duduklah di samping Ibu,’’’lanjutnya dengan suara lembut. Rukmini duduk di tepi tempat tidur. Matanya melirik ke arah bantal dan melihat sesuatu menyembul keluar, ujung buku lusuh berwarna gading.
Rindayu menurut. Ia duduk di samping ibunya.