Bapak menolak permintaan Mbah Min, terjadi berdebatan dengan Ibu di ruang tamu. Aku mendengar sayup-sayup.
’’Kenapa Barra harus dijemput pulang. Di situ sedang sekolah. Lana hanya sakit biasa. Mungkin maag. Bila asam lambungnya turun, nanti juga sehat kembali,’’ ujar Bapak.
’’Bila Lana kena maag, pihak Rumah Sakit pastinya tahu duluan. Lana bahkan di USG untuk mengetahui isi perutnya, apakah ada sesuatu yang aneh. Hasilnya apa? Ndak ada apapun,’’ jawab Ibu.
’’Rumah Sakit di Glagah Anom kurang canggih. Kita bawa Lana ke Semarang saja,’’ timpal Bapak tak mau kalah.
’’Memangnya tabungan kita cukup untuk biaya ke sana? Yakinkah Lana kuat dibawa ke sana. Mas lihat dulu anakmu di dalam,’’ ujar Ibu.
Bapak masuk ke dalam kamar lalu melihatku yang berbaring lemah. Aku hanya menatapnya. Beliau tampak putus asa sakitku tak kunjung membaik sejak terror itu, ’’Bagaimana kondisimu, Nduk? Kira-kira kuat ndak kalau dibawa ke Semarang. Nanti Bapak pinjam mobil Eyang Ti,’’ tanyanya.
Mendengar Bapak menyebut nama itu membuatku menyunggingkan senyum getir. Eyang tak pernah menjengukku sejak aku masuk Rumah Sakit hingga aku dirawat di rumah. Tak ada satupun Keluarga Soenggono yang menjenguk. Sekadar basa-basi pun tak ada.
’’Pak, Lana ndak yakin kuat dalam perjalanan. Sekarang untuk pergi ke toilet saja harus dipapah sama Ibu. Tubuh Lana kehilangan tenaga. Perut rasanya diremas-remas hingga makanan tak ada satu pun yang masuk. Obat dari Rumah Sakit juga sudah habis tetapi kondisi Lana masih sama,’’ jawabku.
’’Bapak suapin bubur, ya. Lana harus sehat,’’ tawar Bapak lalu beranjak keluar.
Ibu yang berada duduk di samping tempat tidur hanya bisa menunduk, ’’Bapakmu memang keras kepala. Mungkin hanya Mbah Min langsung yang harus bicara. Ibu tak mau berdebat lagi,’’ ujarnya.
Bapak kembali membawa semangkuk bubur. Ibu membantuku duduk bersandar bantal. Napasku tersengal padahal hanya bergerak sedikit.
’’Ayo buka mulutnya, Nduk!’’ pinta Bapak. Sendok berisi bubur masuk ke dalam mulutku. Akku sekuat tenaga berusaha mengunyahnya. Tiba-tiba ada sesuatu di dalam perutku yang bergejolak lalu mendorong bubur keluar dari mulut. Cairan lembek itu beramburan bersama air yang keluar dari kerongkongan. Aku muntah hebat lalu terkulai lemas. Sayup kudengar ibu berteriak lalu suaranya melemah dan kesadaranku hilang.
Aku membuka mata dan mendapati diriku ada di tempat asing. Bagaimana bisa aku berada di sini? Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa ini lebih mirip sangkar raksasa, di mana jerujinya berwarna kuning keemasan. Aku berusaha mencari pintu tetapi tak kutemukan. Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini? Apakah aku sedang bermimpi?
Seorang lelaki berjalan mendekat. Dia mengenakan pakaian zaman kerajaan. Aku yakin ini mimpi tetapi entah kenapa terasa begitu nyata, ’’Siapa kau?’’ tanyaku.
Lelaki itu mungkin berusia di atas kepala tiga. Tubuhnya tinggi tegap dengan wajah yang tampak keras. Kedua netranya menatap dengan sorot mata aneh yang membuatku bergidik, ’’Senapati Ulagara dari Amaradatu,’’ jawabnya.
Nama yang asing dan aneh, ’’Di mana aku?’’ tanyaku.
’’Amaradatu,’’ jawabnya singkat dengan mata terpicing. Dia mengamati dengan seksama.