Ada sesuatu yang menyakitkan bergerak di dalam pembuluh darahku. Sesuatu itu seolah mengikuti aliran darah mulai dari ujung jari ke kepala hingga ke kaki dan begitu seterusnya. Kuucap istighfar berkali-kali sambil menahan nyeri di seluruh pembuluh darah. Apapun itu sepertinya berusaha keluar dari tubuhku. Wisa Ulagara kah?
Bude Rahma menatapku cemas, ’’Sabar, Nduk. Masmu sebentar lagi sampai,’’ ujarnya.
Aku hanya mengangguk. Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya bapak sudah sampai di rumah.Teror ini tak berhenti sejak seminggu lalu. Hanya selang beberapa jam sejak bapak pergi, kini aku terbaring lemah. Begitu kuatnya racun Ulagara membuat tubuh ini tak bertenaga lagi. Tanganku tak mampu kugerakkan. Kedua mata ini tiba-tiba terasa berat, ngantuk sekali. Lelah tiada terkira. Apakah mungkin akhir itu sudah dekat? Ya, Allah bahkan belum genap tujuh belas tahun usiaku. Hidup yang begitu singkat.
’’Jangan tutup matamu, Nduk,’’ pinta Bude Rahma. Dia mengguncang tubuhku.
Napasku mulai melemah, ’’Lan…Lana…lelah,’’ ucapku lemah. Bolehkah aku tidur sekejab.
Bude Rahma mulai panik ketika memegang kakiku yang mulai dingin. Dengan sigap ia setengah berlari keluar memanggil Mbah Min dan ibu. Sayup terdengar salam dari luar rumah. Sepertinya bapak dan Mas Barra sudah sampai. Sekitar lima belas menit kemudian mereka masuk ke dalam kamar kecuali Mas Barra dan Mbah Min.
Aku alihkan pandanganku ke sekeliling. Mataku bertemu mata bapak. Tampak raut kecemasan di sana. Apakah beliau kini menyadari bahwa putrinya tak baik-baik saja?
Beliau mendekat, "Lan...Lana..,’’ panggilnya lirih. Suara gemetar.
Aku berusaha membuka suara. Tak satupun kata terdengar. Bapak mendekatkan telinga ke wajahku.
"La...Lana ndak kuat lagi, Pak. Maafin Lana, ya. Lana lelah..." kuberbisik dengan sisa tenaga yang ada. Napasku mulai terasa berat. Pelan kuhirup oksigen lalu menghembuskannya dengan lemah. Tak terasa air mata ini meleleh. Nafasku kemudian tersengal. Mata kian berat.
Bapak mulai menangis, ’’Ya, Allah biar aku saja yang menggantikannya. Ya, Allah...!"
Rasa dingin dari ujung kakiku kini naik hingga lutut. Aku telah kehilangan rasa pada kaki. Mata ini semakin berat untuk terjaga. Kantuk itu datang semakin kuat. Sangat kuat.
Aku merasakan Mas Barra berjalan terburu-buru lalu menyeruak. Wajahnya nampak cemas. Dia duduk dipinggir tempat tidur. Meraih ujung jari kakiku. Dia memijat jempol kakiku, "Bertahanlah Lana..!" pintanya.
Aku berusaha melawan rasa kantuk ini. Setiap tertutup mata ini mati-matian kubuka kembali. Nafasku semakin melemah, "Ya, Allah. Bila memang hari ini adalah hari terakhirku hidup di dunia maka ambillah nyawaku tanpa rasa sakit. Bila Engkau memberiku kesempatan untuk hidup maka sembuhkanlah penyakitku. Apapun yang ada di dalam tubuh ini tolong keluarkanlah," doaku dalam hati.
"Jangan menutup mata! Lan...Lan..Lanaaa!" sayup kudengar Mas Barra berseru.
Kuasakan ia menggeser tubuhnya dan menghirup sesuatu dari arah pusarku. Aku membuka mata sekuat tenaga dan melihat ke arahnya. Secepat kilat dia berlari menahan sesuatu dalam mulutnya. Bude Rahma dan Mbah Min buru-buru mengejarnya.
"Barra! Barra muntah darah! Barra!" seru Bude Rahma.