Setiap malam aku masih dijaga secara bergantian. Sesungguhnya aku merasa tak tega melihat Ibu, Bude Rahma, dan kerabat lain yang menjagaku. Mereka harus tetap terjaga selama berjam-jam di waktu semua mata harusnya terlelap. Meskipun dilakukan dilakukan bergantian dua orang setiap malam tetapi aku yakin itu terasa berat.
Aku merasakan setiap menjelang pukul sebelas malam, suhu seakan turun beberapa derajat membuat siapapun merasa kedinginan. Di luar jendela aku merasakan angin begitu kencang berhembus. Acapkali terdengar desisan dan terkadang geraman yang membuat bulu kuduk meremang.
’’Itu suara apa ya, Bude?’’ tanyaku.
’’Abaikan, Lana tidur saja. Istirahat yang cukup biar tubuhmu kembali sehat,’’ jawab Bude.
Bude Rahma mendapat giliran berjaga hingga pukul satu dua belas lalu akan dilanjut Ibu hingga menjelang waktu Azan Subuh. Aku melirik ke arahnya yang sedang memegang mushaf Al-Qur’an. Suaranya terdengar lirih membuatku merasa tenang lalu tertidur.
Pemuda yang menolongku saat dipenjara di Amaradatu duduk di luar rumahku. Di duduk di bawah jendela kamar. Aku masih ingat namanya, Tsamarangga. Nama yang asing dan terdengar kuno.
’’Apa yang dia lakukan di sini?’’ tanyaku dalam hati. Seperti ia tak memperhatikan bila aku ada di dekatnya.
Tsama berjalan mondar-mandir seakan sedang menunggu seseorang. Benar saja tak berapa lama muncul Ulagara yang mencoba masuk ke dalam rumah tetapi dihadangnya.
’’Kau tak boleh masuk!’’’seru Tsamarangga.
Ulagara tampak marah, ’’Pangeran tak bisa menghalangiku untuk membawa gadis itu,’’ ujarnya.
Pangeran? Tsamarangga seorang pangeran? Apakah itu artinya mereka saling mengenal?
’’Jangan melakukan sesuatu di luar batas. Kau nyaris membunuhnya. Itu sudah pelanggaran atas sumpah ratusan tahun yang lalu,’’ ucap Tsamarangga.
’’Ki Ageng Reksapati sudah meninggal ratusan tahun yang lalu, sumpah itu sudah tak berlaku lagi. Gusti Ratu menginginkan Puspa Arum kembali. Satu-satunya cara adalah membawa Si Pewaris agar ia muncul di hadapannya. Pangeran lebih mengetahui betapa berharganya pusaka itu sehingga lebih aman berada di tangan Gusti Ratu daripada jatuh ke tangan manusia,’’ jelas Ulagara.
Siapa itu Gusti Ratu yang dimaksud? Apakah Tsamarangga adalah pangeran dari Amaradatu?
Ulagara mendesis lalu berubah menjadi seekor ular berwarna hitam dengan belang berwarna emas. Ia lebih mirip ular weling yang bisanya mematikan. Tsamarangga terlihat siaga, ia menggeram tanda marah karena Ulagara seperti hendak menyerangnya. Kedua bola matanya yang berwarna hijau terang tampak semakin membulat dan sekonyong-konyong tubuhnya berubah menjadi macam kumbang.