Beberapa hari sejak dijenguk oleh teman-teman sekolah, kondisi tubuhku semakin membaik. Aku begitu merindukan sekolah. Mas Barra besok diantar Bapak ke pondok. Beberapa minggu kemudian kami baru bertemu kembali.
’’Ingat pesanku, Lan. Jangan melamun di sekolah. Banyak berzikir. Kamu harus lebih hati-hati lagi,’’ pesan Mas Barra. Tampak jelas raut cemas dari wajahnya. Dia menggenggam tanganku erat. Ya Allah, aku malah mengingat teman sekelasku itu.
’’Lana tahu, Mas. Toh nanti masuknya juga selama minggu tenang dan ujian, setelahnya Lana sudah harus mengurus pindah sekolah,’’ ujarku. Sebentar lagi aku akan berpisah dengan Damar Jati. Hatiku mendadak mendung. Mungkinkah kami akan dipertemukan lagi?
Setelah Salat Subuh , Ibu membantuku mengemas bekas makan siang ke dalam tas. Beliau menatapku lama, ’’Yakin hari ini mau masuk?’’ tanyanya.
Aku mengangguk, ’’Sudah kelamaan Lana enggak masuk sekolah, Bu. Minggu depan kan ujian kenaikan kelas. Nanti kalau ndak bisa ikut gimana? Malu kan kalau sampai ndak naik kelas,’’ jawabku.
’’Mbah Min tempo hari bilang sama Ibu, Lana masuknya pas ujian saja,’’ ujar Ibu.
’’Ah ndak mau, pokoknya hari ini mau ke sekolah. Bosan di rumah terus. Lana juga sudah kuat kok,’’ protesku.
Setelah berpamitan, aku segera berjalan menuju pertigaan jalan, menunggu angkot yang akan membawaku ke SMAN 1 Glagah Anom. Jam tanganku menunjukkan pukul enam pagi. Sebenarnya aku takut juga kalau sampai di sekolah belum ada siapa-siapa. Namun, bila berangkat pukul enam tiga puluh nanti bisa berdesakkan di dalam angkot karena kebiasaan anak-anak di Pahesan berangkat sekolah selalu mepet.
Mobil sedan hitam kulihat keluar dari ujung jalan. Aku tahu itu mobil Mbak Rindayu. Setiap hari kami berpapasan tetapi tak pernah sekalipun kaca mobil dibuka untuk sekadar menyapa sepupunya. Aku sendiri tak berharap banyak. Meskipun terkadang menyakitkan bila mengingat perbedaan menyolok di antara kami.
Mobil itu tiba-tiba berhenti lalu kaca hitam gelap itu diturunkan, tampak wajah Pakde Indrajo. Ia tersenyum lalu memberi kode agar aku mendekat, ’’Sini bareng Pakde saja, kan searah,’’ tawarnya.
Aku menatap tak percaya. Biasanya sopir pribadi yang mengantar Mbak Rindayu, ’’Ndak usah, Pakde, Lana naik angkot saja,’’ tolakku halus. Aku melirik ke arah sepupuku yang duduk di samping Pakde Indrajo. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.
’’Ndak boleh menolak rezeki,’’ bujuk Pakde Indrajo.
Awalnya aku ragu tetapi melihat Pakde Indrajo seperti hendak keluar dari mobil, aku segera membuka pintu samping.
’’Duduk yang manis nanti Pakde antar sampai sekolah. Oh ya, Lana sudah sembuh? Maaf belum sempat jenguk, Pakde sibuk ngurus panen. Rencananya sore nanti eh malah lihat kamu sudah pakai seragam sekolah lagi,’’ ucap Pakde Indrajo.
’’Ndak apa-apa, Pakde. Lana sudah sembuh, kok,’’ ujarku.
Sepanjang perjalanan Mbak Rindayu tak sekalipun menyapaku hingga mobil sampai di depan sekolahku. Aku kemudian turun lalu mengucapkan terima kasih dan salam. Pakde Indrajo hanya mengangguk dan membalas salamku.
Aku duduk di halte depan sekolah. Sengaja menunggu ada teman lain yang datang. Lebih baik menunggu daripada masuk ke kelas yang sepi. Aku masih sedikit takut pada panggilan-panggilan misterius sebelum kejadian aku jatuh pingsan. Sekitar sepuluh menit kemudian satu demi satu banyak yang datang. Aku buru-buru berjalan mengikuti mereka masuk ke dalam sekolah.
’’Hai, Lan,’’ sapa suara yang tak asing dari arah belakangku. Damar Jati lalu berjalan di sampingku, ’’Sudah sehat?’’ tanyanya ramah.