Rindayu pusing antara mempelajari lontar pemberian eyangnya dan pelajaran di sekolah yang semakin susah untuk otaknya yang pas-pasan. Hatinya pun sedang kesal karena tadi pagi satu mobil dengan sepupunya. Lana baginya adalah saingan yang harus disingkirkan. Banyak orang membandingkan dirinya dengan Si Kembar. Padahal ia memiliki wajah yang lebih cantik dari Lana, kulitnya lebih terang, dan penampilannya selalu bersih dan wangi. Namun, selalu saja banyak yang bilang Lana lebih pintar dan lebih manis.
’’Lihat saja nanti, kamu itu sekolahnya cuma sampai SMA saja. Aku nanti bakal kuliah dan tentunya akan lebih pintar daripada kamu, Lan. Palingan kamu berakhir jadi buruh pabrik, merantau ke Jakarta, atau malah nikah muda,’’ gerutu Rindayu.
Rindayu tersenyum bila mengingat perkataan eyangnya bahwa ia adalah keturunan Dewi Sedayu yang dinanti, cucu yang terpilih. Jelas statusnya lebih tinggi daripada Lana. Ia adalah pewaris Puspa Arum, Batu Merah Delima yang konon apabila dijual akan menghasilkan dalam jumlah yang besar bahkan berlipat-lipat dari kekayaan eyangnya. Siapalah Lana bila saat itu tiba? Rindayu tersenyum membayangkannya.
Ia menarik kursi dan mengambil kotak kayu pemberian neneknya, dibukanya lontar satu persatu. Berualng kali dibaca hingga lebih dari belasan kali ternyata tak ada satupun yang bisa dijadikan petunjuk di mana disimpannya Batu Merah Delima itu. Isi tabung ketiga justru berisi lontar kosong. Rindayu merasa frustrasi. Bila ia memang keturunan yang dinanti tentunya dengan mudah ia dapati petunjuk itu.
’’Bagaimana caranya mencari petunjuk di mana batu itu berada sementara isinya hanyalah cerita saja. Di buku terjemahan yang ditulis almarhum Eyang Margono pun tak ada yang menyebutkan tempat disimpannya benda itu. Bukankah itu aneh?’’ tanya Rindayu perlahan seolah lontar-lontar di yang ia pegang bisa bicara.
Ia membolak-balik halaman buku terjemahan mulai dari awal kembali.
Lintang Kinasih, putri Ki Ageng Reksapati yang pertama dikirim ke Babatan sebagai mata-mata Pangeran Benawa yang mempunyai nama sandi Teluk Bakung telah hilang dan tak pernah kemballi.
Teluk Bakung menghilang di Glagah Anom tanpa jejak hingga akhirnya Ki Ageng memilih Pahesan sebagai tempat tinggalnya dan menolak jabatan di Batatan. Hidup mengabdikan diri kepada Sang Pencipta sampai Raden Arya Wirayudha meminta bantuannya untuk membebaskan Glagah Anom dari kekuasaan Amaradatu.
Rindayu mengernyitkan dahi. Baginya apa yang terdapat pada terjemahan lontar pemberian Eyang Gayatri tak lebih dari sebuah dongeng. Entah siapa yang menulis lontarnya. Ia terus membaca hingga halaman terakhir.
Ingkang angliliri ingkang winidi, prajna dahayu*
Satu kalimat penutup pada buku itu tak diterjemahkan. Rindayu yakin itu adalah Bahasa Jawa Kuno, sayangnya ia tak memiliki kamusnya. Ia hanya menebak-nebak mungkin kalimat itu menjadi kunci sesuatu. Saatnya ia harus bertanya pada eyangnya.
***
Rukmini sampai di rumah tempat ia dilahirkan, bangunan yang didirikan sejak zaman colonial. Terlihat kuno tetapi di satu sisi begitu asri. Itu adalah satu-satunya yang masih tersisa saat ini. Hobi mengoleksi benda-benda kuno terkadang membuat orang lupa daratan. Ayahnya rela menjual aset hanya untuk memburu benda-benda yang baginya tak lebih dari benda antik tak berarti. Terkadang memang ada benda antik yang harganya di luar batas wajar tetapi lebih banyak yang hanya menjadi pajangan di rumahnya. Salah satu obsesi ayahnya adalah menemukan Puspa Arum. Bisa jadi karena sang ayah berasal dari Glagah Anom hingga mengetahui sejarah zaman dahulu.
’’Lha kok sendirian? Mana Rindayu?’’ tanya Pak Purnomo ketika melihat putri tunggalnya.
’’Ndak ikut, Pa. Ada hal penting yang Mini mau sampaikan dan itu rahasia jadi lebih baik sendiri saja,’’ jawab Rukmini, ’’Ini ada kaitannya dengan benda yang Papa cari,’’ bisiknya di telinga sang ayah.
Kedua netra Pak Purnomo membulat. Tampak binar-binar kebahagiaan di sana, ’’Masuklah. Kita bicara di dalam,’’ ajaknya.
Rukmini lalu membuka benda curiannya. Tabung tembaga ketiga yang berisi lontar kosong. Pak Purnomo memandang takjub pada benda yang belasan tahun ia cari. Ia memeriksa dengan teliti keaslian lontar itu.
’’Darimana kamu dapat ini?’’ tanya Pak Purnomo.
’’Bu Gayatri memberikan ini ke Dayu beberapa minggu yang lalu. Mini sudah menukarnya dengan lontar yang Papa siapkan dulu. Semoga tak ada yang menyadarinya. Mini masih belum tahu kenapa benda berharga ini diberikan ke Dayu. Anak itu juga berbohong saat Mini tanya isi kotak pemberian eyangnya,’’ jawab Rukmini.
’’Gayatri tak mungkin melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dan alasan. Ada sesuatu yang ia inginkan dari cucuku. Apapun itu pasti hal yang penting dan rahasia,’’ ujar Pak Purnomo.Ia memperhatikan tekstur lontar itu dan meraba dengan jari telunjuknya.