Gayatri mengetuk pintu kamar cucunya beberapa kali lalu membuka handel perlahan. Dilihatnya Rindayu sedang duduk di balik meja belajarnya. Ia lalu masuk ke dalam lalu menguncinya. Gadis berusia enam belas tahun itu agak terkejut mendengar anak kunci diputar. Ia menoleh ke arah Gayatri yang menatapnya lembut. Rindayu buru-buru merapikan meja belajarnya yang berantakan. Ia meletakkan secara asal gulungan lontar dan buku terjemahan bersama buku-buku pelajaran sekolahnya.
’’Eyang bikin kaget saja,’’ ucap Rindayu.
’’Apa Dayu menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk?’’ tanya Gayatri.
’’Belum, Eyang. Dua lontar pertama ada tulisannya sedang kan yang terakhir kosong. Di buku terjemahan yang ditulis oleh almarhum Eyanng Margono lebih mirip dongeng. Jadi, sampai sekarang Dayu masih belum paham,’’ jawab Rindayu.
Tampak kekecewaan dari raut wajah Gayatri. Ia sendiri sudah membaca nyaris tak terhitung lontar-lontar kuno itu. Seperti kata cucunya, isinya lebih mirip cerita tentang kisah leluhur suaminya dibanding petunjuk keberadaan benda pusaka. Hanya lontar terakhir yang mencurigakan karena isinya kosong tanpa tulisan.
’’Dayu sudah periksa lontar yang kosong? Barangkali ada tulisan yang tersembunyi atau sesuatu yang mencurigakan seperti tekstur yang timbul?’’ tanya Gayatri. Ia merasa putus asa bila sampai keturunan yang disebutkan dalam lontar pun tak mampu membaca petunjuk rahasia yang disembunyikan di antara lontar-lontar peninggalan Dewi Sedayu itu. Apakah petunjuk justru ada di lontar yang dipegang Mbah Mintono? Ia membatin.
’’Lontarnya benar-benar kosong dan tak ada sesuatu yang aneh. Dayu sudah berkali-kali memeriksa setiap bagian dari lontar. Memangnya disebutkan bila keturunan yang dinanti itu yang bisa membebaskan kutukan?’’ tanya Rindayu.
Ingkang angliliri ingkang winidi, prajna dahayu
Gayatri membuka lontar yang ada di meja. Itu adalah lontar kedua yang berada di dalam tabung berangka empat. Satu kalimat yang membuatnya mengernyitkan dahi karena di dalam terjemahan tidak ada. Ia hanya ingat arti dari kata prajna dahayu yang artinya pintar dan cantik. Salah satu yang membuatnya mengira bahwa Rindayulah yang dimaksud. Sebelumnya memang disebutkan bahwa keturunan itu akan lahir pada tahun di mana matahari akan tertutup bulan secara sempurna. Gayatri yakin itu adalah Rindayu karena cucunya itu lahir di tanggal 11 Juni tahun 1983 di mana saat itu siang menjadi gelap sesaat karena terjadi gerhana matahari total.
’’Ndak mungkin aku salah,’’ gumam Gayatri sambil memperhatikan dengan seksama setiap lembar lontar lalu beralih ke buku terjemahan. Mungkinkah ada aksara terlewat yang lupa diterjemahkan oleh almarhum suaminya. Ia mengernyitkan dahi. Almarhum suaminya pernah membayar seseorang untuk membantu menterjemahkannya. Rasanya tak mungkin bila ada bagian yang terlewati.
’’Ada apa Eyang?’’ tanya Rindayu. Gadis itu heran melihat Gayatri berulang kali membaca buku terjemahan dan memeriksa setiap lembar lontar.
’’Dayu lahir saat terjadi gerhana matahari total. Itu disebutkan dalam lontar. Itulah kenapa Eyang bilang bila Dayulah keturunan yang dinanti. Keturunan yang bisa membebaskan kutukan,’’ jawab Gayatri.
’’Si kembar juga lahir di tahun yang sama,’’ timpal Rindayu.
Gayatri terdiam sesaat. Ia sampai lupa bahwa ada cucu yang lahir di tahun yang sama dengan Rindayu. Si kembar lahir beberapa bulan setelah kelahiran Rindayu. Mana mungkin keturunan yang dinanti adalah mereka. Petunjuk mengarah ke Rindayu karena ia lahir saat terjadi gerhana matahari itu.
’’Saat mereka lahir tak terjadi gerhana apapun. Lagipula mereka kan kembar yang justru jadi penyebab kutukan itu ada,’’ jawab Gayatri.
Rindayu menatap Gayatri. Di satu sisi ia Bahagia karena diperlakukan istimewa oleh eyangnya. Namun, seandainya ia tak lahir di hari terjadinya gerhana matahari itu mungkinkah ia akan tetap istimewa di mata eyangnya. Ia buru-buru menepis pikiran itu, cucu eyangnya hanya Mas Randu dan dia sementara Si kembar hanyalah cucu yang tak diinginkan.
Suara ketukan pintu mengagetkan mereka berdua.