Aku membaca ulang lontar yang berisi Serat Sedayu untuk memastikan bahwa tak ada petunjuk yang terlewat. Besok Mas Barra baru kembali ke Pahesan setelah selesai pembagian buku lapor. Pasti ia tak mau diajak ke rumah Eyang Ti untuk menanyakan perihal lontar yang beliau simpan. Jadi lebih baik sekarang saja aku melakukannya. Apa seharusnya aku meminta bantuan Mbah Min?
‘’Assalamu’alaikum!’’ Terdengar suara salam dari luar rumah. Mirip suara Mbak Dayu tetapi mana mungkin sepupuku datang ke rumah.
‘’Wa’alaikumsalam,’’ jawabku. Segera kurapikan lontar dan memasukannya ke dalam tabung penyimpan serta meletakkannya di dalam kamar. Kulangkahkan kaki menuju pintu dan membukanya perlahan.
‘’Hai,’’ sapa Mbak Dayu. Wajahnya tampak canggung. Ia menyunggingkan senyum kikuk.
‘’’Hai, Mbak. Ada perlu apa? Mau masuk?’’ tanyaku.
‘’Ada hal penting yang ingin kubicarakan. Boleh masuk?’’
Aku membuka pintu selebar mungkin agar sepupuku bisa masuk. Sandal yang ia kenakan menimbulkan suara ketika menghentak ubin. Sia-sia sudah aku mengepelnya tadi pagi. Rupanya Mbak Dayu menyadari apa yang sedang kuperhatikan. Ia tampak bingung lalu pandangannya turun ke bawah.
‘’Eh sandal ndak boleh dibawa masuk, to?’’ tanya Mbak Dayu.
‘’’Mbak Dayu ada perlu apa?’’ tanyaku. Aku malas basa-basi dengannya. Rasa penasaran membuatku mulai menebak-nebak.
‘’Selama liburan Ibu memintaku banyak belajar sama kamu. Nillai-nilaiku kurang bagus. Kita kan sama-sama kelas 1 SMA meskipun beda sekolah. Ya, sekolahku memang unggulan dibanding sekolahmu sih tapi kan nilaimu lebih bagus jadi aku ke sini mau minta belajar bareng gitu lah,’’ jawab Mbak Dayu.
Nada suaranya terdengar tak antusias membuatku curiga bila kedatangannya cuma basa-basi. Ada sesuatu yang disembunyikan dan ia inginkan. Sesuatu yang kukira kurang baik. Entah kenapa aku jadi berpikir negatif padahal bisa saja ia benar-benar tulus.
‘’Boleh saja, Mbak. Mau belajar kapan? Di rumahku apa di rumah Eyang Ti?’’ tanyaku.
‘’’Di rumahku saja. Aku ndak nyaman di sini. Sempit dan gerah,’’ jawabnya.
Ingin rasanya kucubit bibirnya yang seenaknya saja bicara. Namun, kukira ini adalah kesempatan emas untuk mencari tahu keberadaan lontar kedua. Lewat Mbak Dayu, aku bisa tahu lebih banyak.
‘’’Eyang Ti memang mengizinkan Mbak belajar sama Lana?’’ tanyaku.
Mbak Dayu mengibas-ngibaskan tangan seolah sedang menghalau gerah, ‘’Eyang Ti sudah mengizinkan kok. Aku kan cucu kesayangannya, apa saja permintaanku pasti dituruti. Ayo ke rumahku saja. Ndak betah aku lama-lama,’’ jawabnya.
Kuhela napas perlahan. Rasa kesal terhadap kata-katanya membuatku ingin mengusir segera. Memang harus banyak bersabar menghadapi Ndoro putri satu ini, ‘’Çucu kesayangan belum tentu yang terpilih,’’ ujarku. Sengaja kupancing dengan umpan.
Mbak Dayu menatapku selama beberapa saat. Mungkinkah ia tahu apa yang kumaksudkan?
‘’Apa maksud perkataanmu, Lan?’’ tanyanya.
‘’Lana punya lontar yang berisi Serat Sedayu. Itu barang berharga milik leluhur kita,’’ jawabku. Semoga Mbak Dayu memakan umpanku.
Sepupuku tampak terkejut. Ia membelalakkan mata, ‘’’Dari mana kamu mendapatkannya? Aku punya tiga di rumah. Eyang Ti yang memberikannya karena aku adalah cucu yang dinanti,’’ ujarnya bangga.
Aku tersenyum mendengar apa yang baru saja diucapkannya, ‘’Lana bersedia belajar sama-sama tetapi perlihatkan lontar yang ada di Mbak Dayu dulu,’’ pintaku.
Mbak Dayu terdiam, tampak ragu.
‘’Lana cuma mau baca saja sekali. Di lontar yang Lana pegang ceritanya masih bersambung. Lanjutannya ada di dalam lontar yang Mbak Dayu pegang,’’ ujarku berusaha meyakinkannya.
‘’Hanya baca sekali saja, kan?’’ tanyanya.