Ibu sedang melipat baju yang selesai dijemur ketika aku berpamitan. Ia manatapku cemas, ‘’Yakin, mau ikut Bude Rukmini ke toko buku?’’ tanyanya.
Aku mengangguk, ‘’’Lana diminta bantuin cari buku untuk tahun ajaran baru nanti. Mbak Dayu katanya ndak mudeng. Pakde bilang Lana nanti dapat buku yang sama juga sebagai hadiah karena membantu Mbak Dayu belajar,’’ jawabkku.
‘’Perasaan Ibu kok ndak enak, yo. Apa ndak usah ikut saja? Bapakmu masih bisa belikan Lana buku kok,’’ pinta Ibu. Kedua netranya menatapku ragu.
‘’Ndak enak sama Pakde, Lana kan sudah janji, Bu. Toko bukunya juga masih di Pemalang kok,’’ ujarku.
‘’Ya sudah kalau begitu. Lana harus hati-hati dalam bersikap, ya,’’ kata Ibu menyerah.
Mobil sedan berwarna hitam milik Pakde Indrajo berhenti di depan pagar. Setelah mengucapkan salam kepaa Ibu, aku bergegas menghampiri. Kaca depan mobil diturunkan tetapi tak tampak wajah Pakde Indrajo. Aku menatap heran karena di bangku depan hanya ada Bude Rukmini dan Mbak Dayu. Keduanya tersenyum saat melihatku.
‘’Pakde ndak jadi ikut, Bude?’’ tanyaku.
‘’Ada urusan mendadak jadi ndak bisa mengantar. Masuklah, Lan!’’ jawab Bude Rukmini.
Aku membuka pintu dan memilih duduk di belakang Mbak Dayu. Mobil melaju dengan perlahan menuju kota. Sepanjang perjalanan sesekali Bude Rukmini mengajakku bicara sementara Mbak Dayu irit menanggapi. Sekitar tiga puluh menit kemudian kami sampai di Toko Buku Basra di Jalan Jenderal Sudirman. Kami turun lalu menuju bagian buku-buku pelajaran sekolah. Aku memilih buku-buku mana yang akan digunakan saat tahun ajaran baru nanti.
Sesuai janji Pakde Indrajo, Bude membelikan buku-buku yang sama dengan Mbak Dayu. Begitu banyaknya sehingga kedua tanganku harus kugunakan untuk mengangkat plastik belanja. Bude Rukmini tersenyum melihatku kesusahan mengangkat barang belanjaan.
‘’Berat, Lan?’’ tanyanya.
Aku hanya mengangguk sambil nyengir kuda.
‘’Sebelum pulang nanti kita makan dulu di Glagah Anom, ya,’’ kata Bude Rukmini.
Aku melirik jam tangan, memang sudah waktunya makan siang, ‘’Sekalian cari tempat Salat Zuhur, Bude,’’ ujarku.
Mobil berhenti di depan Rumah Makan Seroja. Aku bingung kenapa sekelas Bude Rukmini memilih tempat makan sederhana. Padahal yang kudengar dari orang-orang, istri pakdeku ini memiliki selera tinggi. Bude Rukmini dan Mbak Dayu keluar dari mobil, aku pun mengikuti. Baru saja melangkah ke arah pintu masuk, secara tiba-tiba ada seseorang yang membekapku dari belakang. Sekuat tenaga aku meronta dan sebelum kuterika tiba-tiba mulutku ditutup menggunakan kain yang entah ditetesi apa. Aromanya membuat tubuhku langsung lemah, ambruk. Aku yakin aku pingsan tetapi entah kenapa aku masih menyadari pikiranku ada.
‘’Ayo masukkan ke dalam mobil mumpung sepi!’’ seru suara seorang pria asing. Aku berusaha menggerakkan badan dan membuka mata tetapi gagal. Koneksi pikiran dan tubuh ini tiba-tiba terputus. Bagaimana dengan Bude Rukmini dan Mbak Dayu? Apakah mereka baik-baik saja? Ini jelas penculikkan tetapi apa motifnya. Kedua orangtuaku bukanlah orang berada apabila memang mereka menginginka uang tebusan.
‘’Halo, Bos, target sudah di tangan. Aman terkendali.’’ Terdengar suara lain yang sepertinya sedang menelepon seseorang. Ponsel adalah barang langka di Glagah Anom, aku yakin yang memilikinya bukanlah orang biasa. Siapapun yang dipanggil bos pastinya ada tujuan tertentu kenapa menculik kami.
Pengaruh aroma itu semakin kuat menarik kesadaranku menjauh. Pikiranku tiba-tiba melemah dan lenyapa seketika.
‘’Lan! Lana!’’ panggil suara yang tak asing di telinga.
Aku membuka mata perlahan dan melihat bayangan seraut wajah yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya, ‘’Tsama?’’ tanyaku.
Tsama tersenyum. Aku mengerjapkan mata untuk memastikan ini bukanlah mimpi. Kali ini ia berwujud manusia. Rambutnya hitam panjang dan diikat ke belakang. Ada Sebagian yang terurai menutup sebelah wajahnya. Bola matanya berwarna hijau terang sama seperti saat ia menjadi sesosok macan kumbang.
‘’Benar ini aku Tsama. Kau akan baik-baik saja. Tetaplah tenang, aku akan melindungimu,’’ ujarnya.
Tiba-tiba seseorang mengguncang tubuhku. Aku terkejut lalu membuka mata, ‘’Siapa?’’
‘’Aku memanggilmu dari tadi tetapi kamu ndak sadar juga,’’ ujar Mbak Dayu. Ia menatapku dengan cemas. Tubuhnya meringkuk dipojok ruangan sementara aku ternyata pingsan seperti perkataannya.
Kami berada di dalam ruangan sempit beralaskan tikar. Hanya ada sebuah meja yang di atasnya terdapat poci air dan dua gelas yang terbuat dari kaca. Pintu tampaknya dikunci dari luar. Kami benar-benar diculik oleh seseorang.
‘’Bude mana?’’ tannyaku heran. Bude Rukmini tak tampak di ruangan yang sama dengan. Mungkinkah ia disekap di ruangan berbeda?