Jilan The Series, Puspa Arum

widyarini
Chapter #33

Menuju Telaga

Aku dan Mbak Dayu diantar kembali ke kamar tempat kami dikurung. Sesampainya di depan pintu hanya aku yang diminta masuk ke dalam. Kutatap Mbak Dayu yang juga kebingungan. Apakah kami akan disekap di kamar terpisah?

‘’Kamu masuk ke dalam. Kakakmu ini akan disekap satu kamar dengan ibunya,’’ jelas lelaki bertopeng, sepertinya ia bertugas mengawasiku.

Aku akhirnya masuk sendirian dan melihat Mbak Dayu yang tampaknya lega karena akan bertemu dengan ibunya. Pintu kembali dikunci. Malam ini mereka akan membawaku ke Candi Pengilon artinya ke Desa Pahesan. Saat ini mungkin belum ada yang menyadari bahwa kami diculik. Bila hingga malam kami belum kembali mungkin akan ada yang menduga kejadian ini. Setidaknay Mbah Min akan menyadari ada yang tidak beres. Harapanku satu-satunya.

Aku berjalan mondar-mandiri sambil mencari cara agar bisa keluar dari sini. Meksipun itu mustahil. Pintu jelas dikunci dan di luar ada yang menjaga. Aku masih belum bisa menebak ada berapa orang yang ada di rumah ini. Mungkinkah ini masih di Glagah Anom atau daerah Pemalang lain?

Bukankah anak kembar memiliki ikatan batin yang kuat? Kupejamkan mata lalu mencoba terhubung dengan Mas Barra. Entahlah apakah ini berhasil atau tidak. Kami bukanlah kembar identic.

‘’Mas…Mas…dengar Lana. Saat ini Lana diculik oleh para pemburu Puspa Arum dan malam ini kami akan menuju Candi Pengilon. Mas…Mas Barra, dengar Lana,’’ gumamku.

Berulang kali aku mengulang tetapi tak ada tanda apapun. Bila benar mereka akan membawaku ke sana maka sudah pasti akan melewati rumah Mbah Min. Aku mendesah pasrah. Mbah Min sekarang kan jarang tinggal di sana. Berarti kecil kemungkinan kedatangan kami ke sana akan diketahui oleh warga. Siapapun di balik penculikan ini jelas sudah merencanakannya secara matang.

***

Sebuah mobil minibus membawa kami menuju ke Pahesan. Aku, Bude Rukmini, dan Mbak Dayu duduk di bangku tengah sementara di depan ada lelaki bertopeng hitam dan biru tua. Di belakang kami ada dua orang lelaki lagi yang juga bertopeng. Tak ada satupun yang kukenal. Sepertinya bukan berasal dari Pahesan.

‘’Kau tahu jalan menuju Candi Pengilon?’’ tanya lelaki bertopeng biru tua.

‘’Tahu, Pak. Saya pernah ke sana saat mencari orang yang bisa membujuk Mbah Min membantu kita mencari Puspa Arum,’’ jawab lelaki bertopeng hitam.

Dari percakapan itu jelas terlihat bila lelaki bertopeng biru tua adalah bos para penculik itu. Bagaimana dia bisa mendapatkan lontar dari rumah Eyang Ti? Kalau bukan orang dalam mana mungkin ada orang asing yang bisa masuk ke dalam rumah itu. Aku melirik ke arah Bude Rukmini. Dia tampak cemas. Kedua tangannya sama sepertiku, diikat dengan seutas tali di depan. Mbak Dayu hanya menunduk dengan tubuh gemetar.

‘’Bude ndak apa-apa?’’ tanyaku. Aku perhatikan meskipun ia cemas tetapi taka da rasa takut kubaca dalam sorot matanya.

‘’Ndak apa-apa. Bude hanya merasa gerah karena belum mandi sore. Setelah urusan mereka selesai, kita nanti akan dibebaskan,’’ jawab Bude Rukmini dengan suara rendah.

Jalan yang kami lalui semakin menggelap dan tak ada lagi rumah penduduk. Kami telah sampai di jalan utama menuju Pahesan. Memang jalan menuju Pahesan harus melewati hamparan sawah di sisi kanan dan kiri.

‘’Jam berapa sekarang, Pak?’’ tanya lelaki bertopeng hitam.

Lihat selengkapnya